Sempat dikirim ke Harian Kompas. Tulisan ini memberi gambaran terhadap kondisi Aceh, beberapa bulan pasca tsunami.
Pernah tidak anda berkunjung ke Aceh dua atau tiga bulanan ini? Jika jawaban anda belum, maka anda termasuk orang yang kurang beruntung. Tetapi jika jawaban anda sudah, anda pasti telah melihat bagaimana luluh lantaknya Nanggroe Aceh Darussalam akibat terjangan bencana bulan Desember 2004 lalu. Bagi anda yang telah berkunjung ke Aceh sebelum bencana alam gempa dan gelombang Tsunami, anda pasti akan terkejut melihat bagaimana dahsyatnya gelombang yang namanya hanya terdiri dari tujuh huruf itu.
Aceh yang (mungkin) anda kenal dulu sangat berbeda dengan Aceh sekarang. Bukan karena ratusan ribu masyarakatnya meninggal pada tanggal 26 Desember 2004 lalu. Bukan juga karena ibukotanya, Banda Aceh, kehilangan setengah penduduknya, belum lagi kota Meulaboh dan kota Calang yang tidak berwujud lagi. Walaupun itu sangat terasa. Juga bukan karena ribuan bahkan puluhan ribu bangunan fisik rusak dan hancur. Walaupun ini juga sangat tampak. Tetapi hal yang sangat terasa adalah banyaknya relawan, baik asing maupun nasional, yang “hilir mudik” di bumi yang dulu di kenal dengan “tanah rencong” ini.
Orang asing menjadi tidak asing lagi di Aceh. Sama dengan fenomena di Bali, walau kepentingan mereka berbeda. Di Bali mereka beristirahat, tetapi di Aceh mereka bekerja. Hampir semua bangsa hadir di Aceh. Orang kulit putih, kulit hitam maupun kulit berwarna. Dari benua Asia, tetangga kita, sampai benua Amerika yang masyarakat Aceh hanya tahu melalui globe saja. Kapal induk Amerika Serikat USS Abraham Lincoln “nakring” di perairan Aceh. Rumah sakit terapung Angkatan Laut Amerika juga parkir di perairan ini, walaupun mereka kemudian menambatkan jangkarnya di perairan kepulauan Nias. Malah, sebelum pemerintah “mengusir” mereka pada tanggal 27 Maret lalu, ribuan orang asing dari berbagai Negara berada di Aceh. Tujuan (yang kita tahu) hanya satu, yaitu membantu.
Perlengkapan militer yang hanya pernah masyarakat Aceh lihat di film-film action keluaran Hollywood, kini menjadi pemandangan biasa bagi mereka. Kapal induk, helikopter Chinnox maupun Seahawk menjadi transportasi biasa mereka, karena memang transportasi darat lumpuh total waktu itu menuju Aceh Jaya dan Aceh Barat. Banyak jenis truk militer negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, Belanda membawa berbagai keperluan bagi masyarakat Aceh. Berbagai perlengkapan kesehatan, yang kadang-kadang dokter kita belum pernah melihatpun, hadir di Aceh.
Sebulan pertama bencana, hampir semua bidang “diambil alih” oleh mereka. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal; belum berfungsinya pemerintahan lokal setempat dan masyarakat mungkin lebih menyukai pelayanan pihak asing, karena keteraturannya, serta birokrasi yang tidak berbelit-belit. Bidang kesehatan mungkin yang paling terasa. Salah satu contohnya adalah Rumah Sakit Zainoel Abidin, rumah sakit terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam. Pada awal-awal bencana, rumah sakit ini “dikuasai” oleh petugas kesehatan dari luar negeri. Jerman merupakan negara yang paling besar peranannya di rumah sakit ini. Tidak hanya di rumah sakit ini, banyak pusat pelayanan kesehatan lainnya dikelola oleh dokter dari luar negeri. Termasuk di daerah pedalaman sekalipun yang dulunya susah mendapatkan pelayanan kesehatan.
Sejauh pengamatan kami di lapangan, masyarakat pun lebih menyenangi berobat kepada mereka. Walau kadang-kadang persentase kunjungan ke pos kesehatan yang di kelola oleh dokter asing dan dokter Indonesia hampir sama. Ada tiga hal yang kami kira menjadi sebab akan hal ini, pelayanan “heart to heart” yang diberikan oleh dokter asing, kelengkapan fasilitas maupun obat, serta prilaku masyarakat yang kadang-kadang “latah”. Dua sebab pertama jarang dimiliki oleh dokter kita. Dokter kita biasanya tidak begitu care dengan pasien, walaupun tidak semua dokter Indonesia seperti itu. Kemudian juga, biasanya dokter kita sekedar melepaskan kewajibannya. Pelayanan “dari hati ke hati” biasanya jarang dipraktekkan. Walaupun banyak juga relawan dokter dari berbagai daerah di Indonesia yang sangat telaten merawat pasien seperti merawat dirinya sendiri.
Bahasa menjadi kendala utama pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak tersebut. Tapi di Aceh, bahasa tidak menjadi masalah yang terlalu serius. Di Aceh sekarang banyak penterjemah “musiman” yang pendapatan mereka sehari bisa melebihi gaji PNS golongan II selama sebulan. Mereka biasanya adalah mahasiswa yang memiliki kelebihan dari segi bahasa, walaupun kadang-kadang bahasa Inggrisnya pas-pasan. Tetapi ada juga dari mereka yang merupakan lulusan Bahasa Inggris dari Perguruan Tinggi ternama.
Kalau dulu masyarakat Aceh, bahkan Indonesia, lebih menyukai berobat di Penang, Malaysia, karena pelayanan yang optimal, kini mereka tidak perlu lagi merogoh kantong dalam-dalam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna. Rumah sakit umum yang dokter-dokternya ahli dari berbagai spesialisasi ilmu memberikan pelayanan gratis bagi mereka. Kalau rumah sakit ini tidak mampu, mereka akan merujuknya ke asuhan yang lebih tinggi. Rumah sakit terapung milik Angkatan Laut Amerika Serikat dan Spanyol menjadi pilihan rujukan. Di sana mereka akan diberikan pelayanan yang sangat memuaskan.
Perumahan (shelter), pengairan serta sanitasi juga merupakan bidang garapan para pekerja asing ini. Di Aceh kini mulai dibangun ribuan perumahan yang berstandar PBB. Barak-barak relokasi juga sudah mulai ditempati. Jadi jangan heran kalau anda berkesempatan mengunjungi Aceh dengan jalur darat, anda akan melihat bangunan terbuat dari papan yang berjejer. Itulah barak penampungan sementara. Barak-barak tersebar di seluruh kecamatan korban Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam.
Air minum juga tidak lagi menjadi masalah di Aceh. Sejak banyaknya tempat penyulingan air siap minum, masyarakat Aceh tidak lagi mengalami kesulitan dalam menemukan air minum yang steril dan bisa langsung diminum. Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) asing yang membantu penyediaan air minum ini. Mereka seakan-akan berlomba untuk membantu masyarakat Aceh, walaupun kita tidak tahu maksud lain mereka selain membantu itu apa.
Relawan dari luar negeri juga membantu mengembalikan proses pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. Walau skala bantuan mereka lebih kecil dari bidang-bidang lain. Walau demikian, bantuan mereka juga sangat penting. Membangun kembali rumah sekolah yang hancur menjadi prioritas mereka, disamping menghilangkan trauma para siswa serta mengembalikan semangat mereka.
Itulah Aceh sekarang, propinsi yang pada tanggal 26 Desember 2004 lalu luluh lantak, hancur oleh “ulah” sebuah gelombang yang kemudian dikenal sebagai Tsunami. Banyak hal yang dapat kita petik dari bencana ini. Masyarakat Aceh yang kaya akan hasil bumi tapi mempunyai penduduk miskin yang lumayan banyak. Ibarat pepatah, Aceh sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kita tidak menyalahkan Tuhan. Tuhan Maha Adil. Mungkin cobaan ini hanya untuk mengukur tingkat kesabaran masyarakat Aceh saja, begitu juga dengan masyarakat Nias, dan daerah-daerah lain di Indonesia.
*****
Banyak hal mungkin yang bisa kita ambil hikmah dari kedatangan mereka ke negeri kita. Terlepas ada tidaknya maksud lain, mereka telah meletakkan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga mengenai arti kedisplinan dan pelayanan optimal “heart to heart” yang patut kita contoh demi mengembangkan mutu kita. Mengenai arti ilmu dan aplikasi kepada masyarakat yang kadang-kadang tidak dimiliki oleh para dokter, insinyur, ilmuwan, dan profesi-profesi lain di Indonesia. Juga mengenai arti kepercayaan, ramah tamah dan tidak KORUPSI yang diajarkan oleh mereka.
Kita tidak munafik, kita memang lemah dalam hal ini. Kesemua pelajaran-pelajaran ini menjadi cambuk bagi kita, bagi pemerintah kita, bagaimana seharusnya memperlakukan masyarakat sebagai manusia yang perlu dihargai dan dihormati. Bagaimana memperlakukan pengungsi seperti kita ingin diperlakukan. Tidak ada pengkultusan suatu bangsa disini, tapi semua ini menjadi pelajaran bagi kita bagaimana akan bertindak.
Anda berminat mengunjungi Aceh? Cobalah sesekali anda ke sana. Anda tidak perlu takut, debu bekas Tsunami sudah mulai berkurang di Aceh. Aceh juga sudah mulai aman dari konflik bersenjata. Tumbuhan juga mulai tumbuh disini, sehingga tampak lebih rindang dan indah. Dan yang yang pasti, masyarakat Aceh akan menyambut anda dengan senyuman. “Wellcome sir, piyoh hai !!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar