Anti SARA (internet) |
Pada acara peringatan 20 tahun reunifikasi Jerman Oktober tahun lalu,
dalam pidato tertulisnya, Presiden Jerman, Christian Wulff membuat pernyataan yang mengguncang Jerman saat itu. Dia menyebut
bahwa Islam, sama seperti agama yang sudah ada di Jerman; Kristen dan Yahudi
merupakan bagian dari Jerman (´Der Islam gehört zu Deutschland´). Terang saja, statement kontroversial ini menyulut
reaksi pro dan kontra dari masyarakatnya, hingga selang beberapa menit
kemudian, Kanselir Jerman, yang merupakan pemimpin tertinggi negara federasi ini,
Angela Merkel langsung meralat pidato sang Presiden. ´Der Islam gehört nicht zu
Deutschland´ (Islam bukan bagian dari Jerman), katanya tegas.
Masyarakat sudah terlanjur mendengar ucapan sang Presiden. Sontak saja, semua media esoknya menempatkan kalimat tersebut sebagai headline. Jaringan televisi seantero negeri menyiarkan banyak diskusi dan dialog tentang tema tersebut, benarkah Islam bagian dari Jerman? Berbagai poling dibuat. Walau akhirnya mayoritas pendapat masyarakat lewat poling di banyak media mematahkan pendapat tersebut. Pernyataan orang nomor dua di negara maju nomor tiga dunia ini telah menimbulkan spekulasi besar sepanjang sejarah. Apa yang terjadi? Mengapa presiden mengeluarkan kata-kata tabu ini? Apakah dia tidak menyadari efek dari ucapannya itu. Tentu secara logika kita pasti tahu bahwa pernyataan ini sudah di persiapkan sebelumnya, terbukti dari teks yang telah dipersiapkan sebelumnya. Permasalahannya sekarang adalah bukan pada pengakuan Islam sebagai agama resmi negara, karena sebagai negara sekuler seperti Indonesia, Jerman memisahkan negara dengan agama, tetapi lebih kepada simbol pengakuan hak-hak minoritas. Apalagi dengan kenyataan bahwa 4% penduduk Jerman adalah muslim, dan muslim telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kemajuan Jerman. Selain itu, suara sang Presiden tampaknya ingin mendukung usaha-usaha ummat Islam yang sebagian besar merupakan etnis Turki dan imigran lainnya untuk eksis dan diakui sebagai warga negara, yang memiliki persamaan hak dan kewajiban dengan warna negara lainnya.
Lain di Jerman, lain lagi di Malaysia. Negara dengan populasi etnis
Melayu lebih dari setengah dari total penduduknya itu, juga masih menyimpan
masalah dengan pola integrasinya. Sebagaimana kita ketahui, etnis Cina dan
India yang jumlahnya semakin meningkat dan mulai menguasai berbagai sektor di
Malaysia membuat etnis mayoritas melayu berpikir ekstra keras untuk menjaga
eksistensi dan mencegah terjadinya kemerosotan bangsanya sendiri. Berbagai
upaya dilakukan, termasuk memberikan peluang lebih besar dan kemudahan kepada bumi putera (bangsa melayu) dalam
berbagai bidang; pendidikan, kesehatan, ekonomi. Sistem kerajaan dengan berbagai aturan
kepemilikan tanah masih di pertahankan. Bahkan hingga kini, perdana menteri nya
masih orang Melayu, walau jumlah menteri di kabinet berbagi antara bangsa
Melayu, Cina dan India. Semboyan ´One Malaysia´ (satu Malaysia) yang
dielu-elukan oleh perdana menteri Dato´ Sri Najib Razak, hanya sebatas simbol
saja. Malaysia belum terbebas dari konflik antar etnis, dan bahkan para
pengamat menilai bom waktu konflik antar etnis diprediksi masih sangat besar
terjadi.
Kondisi di Indonesia juga tak jauh berbeda.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Unity in
Diversity, berbeda-beda tetap satu jua) yang selalu didengung-dengungkan
bahkan terpatri kuat di benak presiden Obama, hanya sebatas semboyan. Bagaimana
kemudian toleransi antar suku yang masuk ke dalam butir-butir Pancasila dan
diajarkan bahkan dari Taman Kanak kanak tidak terealisasi dengan semestinya.
Identitas etnis memang sulit untuk disatukan. Hal ini sudah terpatri jauh di
dalam lubuk hati, dan bahkan bisa menghilangkan akal sehat kita. Tapi kita
tidak diberi pilihan untuk memilih akan menjadi suku apa ketika kita lahir.
Sejak dari kecil kita sudah ditanamkan untuk mencintai suku, bergaul dengan
orang dari suku kita dan bahkan menikah hanya dengan orang satu etnis. Siklus
ini terus berputar dan akan terus melahirkan generasi yang fanatik kesukuan dan
hanya akan berubah ketika kita berinteraksi dengan manusia dari suku dan bangsa
lainnya di dunia. Tetapi jika tidak, fanatisme kesukuan akan di bawanya hingga
dewasa, dan akan melahirkan manusia rasis dan anti pluralitas.
Lalu bagaimana dengan Aceh? Pernyataan
seorang anggota DPRA yang menghangat di media akhir-akhir ini menambah
persoalan diversitas etnis di provinsi yang juga terdiri dari beberapa suku
ini. Istilah ´mayoritas-minoritas´,
´terpinggirkan´ menjadi salah satu sebab dari sekian banyak sebab yang membuat
sebagian penduduk di daerah barat selatan Aceh ingin memisahkan diri dan
berkeinginan membentuk provinsi sendiri terpisah dari provinsi Aceh. Pernyataan
´kalian bukan orang Aceh´ hampir sama maknanya dengan pernyataan ´gehört zu
Deutschland´ sang Presiden Jerman, walau dalam artian yang bertolak belakang.
Dan publik pun meradang, minimal seperti
yang kita baca di media massa. Isu etnis, selain isu agama, adalah isu yang
sangat rentan menimbulkan konflik. Kita belajar banyak dari berbagai kerusuhan
yang terjadi di berbagai belahan dunia terjadi akibat salah memanage isu ini.
Bahkan Amerika Serikat sekalipun, yang mengaku dirinya sangat demokratis masih
belum bisa beranjak dari permasalahan ini. Konflik rasial white american (amerika kulit putih) dengan afro-american (berkulit hitam) dan rasisme terhadap bangsa amerika
latin dan muslim, masih saja terjadi di sana, walau sekarang hanya sebatas
individu. Perang saudara di Amerika Serikat abad 19 menyisakan berbagai
masalah. Film-film Hollywood yang kita nonton masih menempatkan beberapa
penggal kata-kata yang menyiratkan rasisme dalam adegan dan dialognya. Di Indonesia sendiri, pertikaian suku Dayak-Madura,
merupakan salah satu contoh dari puluhan contoh lainnya. Ibarat rumput yang
sudah kering yang ada di hutan pada musim kemarau, setitik api bisa membakar
seluruh hutan tersebut.
Rasisme memang isu dunia. Bagaimana kita menyaksikan sebuah spanduk besar
selalu di bentangkan oleh FIFA menjelang pertandingan internasional, `Stop
rasicm´, walaupun kemudian spanduk ini diganti dengan spanduk ´fair play´,
akhir-akhir ini, tetapi toh isu ini
masih menjadi masalah serius berbagai pihak. Di Jerman dan negara Eropa
lainnya, isu integrasi immigran menjadi berita yang tidak pernah luput di
media. Banyak uang di kucurkan untuk membantu immigran masuk ke dalam komunitas
disana, termasuk menyediakan kursus bahasa murah bahkan gratis bagi immigran,
karena meraka paham betul bahwa bahasa memberikan respon positif terhadap
eksistensi minoritas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, tetapi toh
masalah ini belum berakhir. Dan ini masih dialami oleh penulis sendiri walau
dalam tingkatan yang tidak terlalu membahayakan.
Mayoritas-minoritas merupakan hal yang biasa terjadi di banyak tempat.
Suku, Agama, Ras Antargolongan (SARA) selalu dihindarkan untuk di bicarakan di
Indonesia. Mengganggap SARA tabu bahkan untuk sekedar disentuh merupakan
peninggalan orde baru yang akhirnya menyebabkan konflik SARA berkepanjangan.
Penyakit kronik ini akhirnya menyebabkan letupan-letupan yang bisa terjadi
kapan saja dan, tentunya, menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang ternilai
harganya. Suku Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, dan lain-lain adalah bagian dari
provinsi Aceh. Walaupun berbeda, kita sama-sama ber KTP provinsi Aceh. Mempermasalahkan
dari suku apa kita berasal bukan pemikiran yang bijak dalam era perdamaian dan
pembangunan pada masa sekarang. Yang paling penting adalah bagaimana rasa cinta
kita terhadap suku, membuat kita berpikir lebih keras untuk memajukan suku kita
dan pada akhirnya nanti akan ikut memajukan daerah dan negara. Diskusi yang
intens dalam mencari solusi permasalahan bersama akan meningkatkan romantisme
masyarakat dan mengurangi konflik kesukuan, walau saling menghargai antar suku
mutlak di perlukan.
Tidak ada negara di dunia yang terbebas dari
masalah ini. Sukuisme, rasisme, chauvinisme adalah ungkapan sejenis yang ingin
menunjukkan superioritas kita terhadap etnis lain, padahal malah sebaliknya;
menunjukkan kekerdilan kita sendiri. Zaman sudah semakin maju, globalisasi
sudah terjadi. Sudah saatnya kita
membuang rasa fanatis kesukuan yang berlebihan dan menggantikannya dengan
semangat membangun yang tinggi. Aceh yang kita impikan adalah Aceh yang maju,
berdaulat dan sejahtera, bukan Aceh yang pendendam, dan selalu bangga dengan
suku dan masa lalunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar