expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 24 April 2009

Aceh Dalam Kacamata Snouck Hungronje

Saya suka tulisan ini karena saya suka sejarah Aceh.

“Uma (Teuku Umar, pahlawan nasional, pen) : ia khas seorang Aceh, tidak dapat dipercaya sama sekali, diperbudak candu dan judi, tetapi dia berbeda dengan kebanyakan pemimpin Aceh dalam hal kegiatan kerja dan kepandaian bergaul yang luar biasa dengan segala macam manusia”
(Dr. Snouck Hurgronje)

Pernahkah anda mendengar nama Dr. Snouck Hurgronje? Saya kira hampir semua masyarakat Aceh mengenal nama ini. Siapa yang tidak kenal dengan musuh nomor satu rakyat Aceh pada masa-masa perjuangan melawan kolonialis Belanda. Hampir semua orang Aceh pernah mendengar nama seorang ilmuwan yang dengan kecerdasan intelektualnya diangkat sebagai penasehat politik untuk menghancurkan perlawanan rakyat Aceh oleh pemerintah kolonialis Belanda. Hampir semua rakyat Aceh mengenalnya, minimal pernah  mendengar atau membaca tentang dirinya, juga sepak terjangnya dalam menumpas perlawanan masyarakat Aceh melawan Belanda. Bahkan orang Aceh melafazkan namanya dengan : Tuan SEUNUET – yang artinya menghajar dengan cambuk, sebagai bentuk permusuhan yang sangat mendalam terhadap dirinya.

Mungkin hanya beberapa masyarakat yang asing dengan tokoh yang sempat memperdalam ilmu agama Islam selama di Mekkah ini. Golongan masyarakat tersebut adalah kalangan pelajar yang menjadi korban dari sebuah sistem yang bernama “pendidikan nasional”. Bagaimana tidak, buku sejarah nasional yang seharusnya memberi porsi lebih besar terhadap perjuangan rakyat Aceh, tetapi malah hanya memberikan secuil ruang bagi cerita kepahlawanan rakyat Aceh.

Andaikan Bapak Hurgronje masih hidup, tentulah beliau akan sangat kecewa kepada kita. Kita tidak pernah mau tahu terhadap hasil jerih payahnya membuat penelitian tentang kebudayaan Aceh hingga menulisnya dalam sebuah buku. Walaupun demikian beliau akan berpikir kembali bahwa tujuannya membuat buku “De Atjehers” yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul “The Achehnese” dan menjadi best seller di Eropa pada saat itu, bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Aceh khususnya. Tujuan utama beliau menulis buku ini adalah untuk kepentingan bangsanya, bangsa Belanda. Jadi, dengan atau tanpa penghargaan dari kita, toh beliau sangat berbangga karena penelitian beliau selama 9 tahun (1884 – 1893) mempelajari kehidupan masyarakat Aceh dan agama Islam – sampai ke negeri diturunkan agama ini, Mekkah, menghasilkan sebuah buku yang menjadi acuan bagi bangsanya untuk menaklukkan bansa Atjeh (mengutip istilah Gerakan Aceh Merdeka).
                                                                              *****

Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri mencari buku ini di perpustakaan terbesar di Aceh saat ini, perpustakaan Universitas Syiah Kuala. Saya sempat kecewa karena tidak menemukan buku ini. Padahal saya ingat, setahun yang lalu, saya menemukan  buku ini pada sebuah rak di lantai tiga.  Tapi kenapa setahun kemudian buku ini menghilang? Saya kemudian mencari dan mencari lagi. Tapi tampaknya perjuangan saya sia-sia, sampai pada suatu kesempatan petugas perpustakaan tersebut menyuruh saya mencarinya di bagian referensi. Dan Alhamdulillah buku ini ketemu juga.

Ironis memang. Buku yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1985 oleh penerbit Yayasan Soko Guru Jakarta (saya tidak tahu edisi terbarunya) terasa sangat sulit didapat. Padahal buku ini – menurut saya, adalah buku terlengkap yang menceritakan kehidupan masyarakat Aceh (De Atjehers, bahasa Belandanya) yang paling detail. Bukahkah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya?

Hampir semua bagian buku ini layak kita pelajari sebagi penerus Teuku Umar, Tgk. Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien dan pahlawan Aceh lainnya, untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme – dalam kerangka ke-Acehan dan ke-Indonesiaan tentunya. Apalagi bagi generasi muda Aceh yang semakin lama semakin tercabut dari akar budaya Aceh. Kita sebagai orang Aceh sudah selayaknya belajar dari sejarah endatu-endatu getanyoe.

Dalam pengantarnya dalam buku ini Dr. Hurgronje menulis: “ketika berada di Arab (1884 – 1885) – dan terutama di Mekkah – saya berkesempatan memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai pengaruh fanatisme Islam atas sikap orang Aceh yang dengan gigih melawan kekuasaan Belanda. Saya perlu berhubungan langsung dengan orang Aceh di negeri mereka sendiri selama beberapa waktu guna membulatkan pengetahuan yang telah saya peroleh dari kepustakaan dan dari pengalaman saya di kota suci Arab...dalam tahun 1824 Pemerintah Belanda tanpa mempertimbangkan akibat-akibatnya mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya dimana ia menjamin keamanan perdagangan dan pelayaran di Aceh – dengan penduduknya yang fanatik dan penuh tipu muslihat, perusuh dan suka perang yang tidak dikenal di kalangan ras-ras lainnya di Nusantara ini disamping mereka sendiri terus menerus saling memerangi – dan ditambah dengan satu syarat lagi (yang menyebabkan perjanjian ini tak mungkin dilaksanakan) bahwa ia (Belanda-pen) akan menghormati kemerdekaan negeri itu...”

Namun sebagai seorang orientalis, tidak semua isi yang ditulis Mr. Hurgronje layak kita terima tanpa “mengunyah”nya terlebih dahulu. Misalnya Dr. Snouck menyebut Teuku Umar, pahlawan nasional dari Aceh sebagai seorang “penyamun, penipu yang cerdik, licik dan tidak dapat dipercaya. Pada bagian lain, dia juga menyebutkan: “ia khas orang Aceh, tidak dapat dipercaya sama sekali, diperbudak candu dan judi , tetapi ia berbeda dengan kebanyakan pemimpin Aceh lain dalam hal kegiatan kerja dan kepandaian bergaul yang luar biasa dengan segala macam manusia”. Dia juga menulis berbagai sifat jelek orang Aceh, yang - entah benar entah salah - berasal dari penelitiannya di lapangan. Dia menyebut penduduk Aceh sebagai “penduduk yang fanatik dan penuh tipu muslihat, perusuh dan suka perang, yang tidak di kenal di kalangan ras-ras lainnya di Nusantara”.
                                                                                  *****

Beberapa waktu lalu saya mengikuti pendeklarasian pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar di kantor KPA Banda Aceh. Sebelumnya saya sempat juga mengikuti beberapa pendeklarasian pasangan calon yang maju pada pilkada tahun 2006 ini, baik untuk provinsi NAD maupun kota Banda Aceh. Saya sempat mendengar beberapa orasi politik mengenai visi kedua kandidat tersebut terhadap Aceh kedepan. Banyak hal yang menarik memang, tetapi yang paling menarik buat saya adalah pada visi kebudayaan. Pengembalian adat dan kebudayaan Aceh menjadi satu-satunya kebutuhan yang urgent saat ini, disamping penegakan syariat Islam, pendidikan murah, kesehatan yang terjangkau dan bidang ekonomi. Bukahkah dari dulu telah ada idiom ”adat ngon hukum lagee zat ngen sifeut” ? Atau idiom lainnya ”adat bak Po temeureuhom, hukom bak Syiah Kuala. Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana”. Tapi kemana semua itu pada saat ini ? 

Pernah saya bertanya kepada beberapa siswa pada saat kami mengadakan Try Out untuk siswa SMA/sederajat di sebuah kabupaten di provinsi NAD. Yang saya tanyakan pada waktu itu sangat sepele, apakah mereka bisa menyebutkan bulan dalam bahasa Aceh. Saya lihat banyak kepala yang menggeleng. Kemudian saya permudah pertanyaan; nama hari dalam bahasa Aceh. Hanya beberapa diantara mereka yang menjawab. Sedih memang. Apalagi kalau saya nenanyakan hal-hal spesifik lain mengenai adat Aceh. 

Penggunaan bahasa Aceh merupakan contoh sederhana mengenai hilangnya secara perlahan-lahan kebudayaan Aceh. Coba anda perhatikan, Bahasa Aceh sekarang menjadi asing di negeri sendiri. Di sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan beberapa tempat umum lainnya, Bahasa Aceh sangat jarang kita dengar. Bukan berati tidak memiliki sense of change, penggunaan bahasa daerah menunjukkan identitas daerah tersebut. Kita bisa mengadakan survei, berapa banya orang di Aceh saat ini yang bisa berbahasa Aceh fasih, baik listening, reading maupun speaking ? kalau survei ini kita  buat beberapa tahun yang akan datang, saya yakin angka ini akan sangat menurun. Apalagi dengan adanya fakta bahwa ibu-ibu Aceh sekarang lebih memilih mengajarkan anak-anaknya bahasa Indonesia daripada Bahasa Aceh. Mengutip istilah kedokteran, hilangnya kebudayaan Aceh bersifat progresif kronik, artinya hilang secara perlahan-lahan dan tidak kita sangka-sangka. 

Solusi
Lalu apa solusi atas permasalahan ini. Saya kira yang paling penting dari semua ini adalah political will dari pemerintah daerah dalam mengembalikan kembali kejayaan kebudayaan Aceh. Kalau kita berharap dari pemerintah pusat, saya yakin hal ini tidak akan tercapai. Siapa yang akan mejaga ”harta” kita kalau bukan kita sendiri yang akan menjaganya. Political will dimulai dari siapa yang akan kita pilih pada waktu pilkada tahun ini. Siapapun yang kita pilih harus benar-benar teruji integritasnya dalam menjaga kebudayaan Aceh, disamping kredibilitasnya pada bidang-bidang lain. 

Solusi lainnya yang tak kalah penting menurut saya adalah bagaimana memasukkan kebudayaan Aceh dalam kurikulum pendidikan daerah kita. Jika selama ini porsi pembelajaran sejarah dan kebudayaan Aceh dimasukkan dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam porsi yang sangat sedikit, sudah saatnya kurikulum pendidikan kita memiliki pelajaran khusus mengenai sejarah dan kebudayaan Aceh serta Bahasa Aceh dalam porsi yang lebih besar. Saya kira dengan menjadikan buku Dr. Snouck Hurgronje ini menjadi bacaan wajib anak-anak sekolah akan menjadikan mereka lebih memahami sejarah dan kebudayaan mereka. Walaupun tidak seluruh isi buku ”sehat” mereka baca, penggunaan buku ini akan menjadi salah satu cara efektif dalam peningkatan pemahaman anak-anak Aceh terhadap kebudayaan endatu mereka

Ada banyak solusi lain yang layak kita perhatikan dalam mengembalikan kembali marwah kebudayaan Aceh yang dulu sangat disegani di tingkat internasional. Dan hal ini akan sangat membutuhkan niat baik dan usaha dari semua pihak. Tanpa niat baik dan usaha yang keras, mustahil cita-cita ini akan dapat terealisasikan. 
                                                                                   *****

Beberapa minggu ini kita disibukkan dengan berita perpecahan di kubu Gerakan Aceh Merdeka dalam pilkada tahun ini. Surat dukungan petinggi pusat GAM terhadap pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah, Surat palsu dukungan petinggi GAM terhadap pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, statement Muzakkir Manaf, sampai bantahan dari pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar mewarnai media massa akhir-akhir ini. Bahkan menjadi headline di sebuah tabloid lokal.

Membaca berita tersebut, pikiran kita langsung melayang pada sejarah Aceh satu sampai dua abad silam dengan pemerintah kolonialis Belanda sebagai sutradara dan Dr. Snouck sebagai tokoh utamanya. Berjuta cara dipikirkan oleh Dr. Snouck untuk memadamkan peperangan rakyat Aceh melawan negaranya waktu itu. Karena memang beliau dibayar untuk tujuan tersebut. Dan cara yang yang paling manjur untuk mematahkan perjuangan rakyat Aceh hasil penelitian beliau adalah politik devide at empire - politik adu domba. Beliau menyarankan hal tersebut kepada pemerintah Belanda, dan pemerintah Belanda melakukannya, ternyata berhasil. Perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda lambat laut mulai berkurang, walau tidak berhenti sepenuhnya.

Andaikan Tuan Seunuet masih hidup, pastilah dia akan tersenyum melihat hasil jerih payahnya menjadi hal yang lazim digunakan pada saat ini. Entah benar entah tidak, politik hasil penelitiannya yang sangat manjur melawan rakyat Aceh, kini diadopsi dalam pilkada tahun ini. Tapi ini masih sekedar opini, perlu penelitian yang lebih teliti dan komprehensif. Dengan kata lain, hasil penelitiannya menjadi sesuatu yang ”bermamfaat” bagi sebagian orang untuk meredakan watak orang Aceh seperti yang disebutkan beliau ”fanatik dan penuh tipu muslihat, perusuh dan suka perang yang tidak dikenal di kalangan ras-ras lainnya ”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar