Komentar pembaca pasca Pilkada Aceh 2007
Neng..kametapaneng..meugisa-gisa...Rata jurong ka mumang keubit metapaneng megisa-gisa. Ladum galak keu pangkat jabatan…Lagu “Mumang” karya diva musik Aceh, Rafly dengan Kande-nya ini sangat tepat menggambarkan situasi perpolitikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam satu minggu belakangan ini. Rakyat semakin mumang memikirkan pelaksanaan Pilkada Aceh, yang katanya baru pertama kali dilaksanakan di dunia secara serentak yang melibatkan lebih dari 15 kabupaten/kota. Semua mata memandang ke daerah ini. Termasuk Sekjen PBB turut nibrung mengeluarkan statementnya. Padahal apalah artinya sebuah provinsi yang hanya berpenduduk sekitar 4 juta jiwa ini?
Sekarang timbul pertanyaan di benak kita, apakah benar secara umum Pilkada Aceh tahun ini sesukses yang diberitakan di media? Padahal banyak kita dengar kecurangan dalam Pilkada tahun ini? Untuk provinsi, pendapat media ini cukup beralasan. Kemenangan Irwandi-Nazar memang sesuatu yang sudah diprediksi sebelumnya. Sosok Irwandi Yusuf yang cool, calm and confident bersanding dengan sosok Muhammad Nazar SIRA yang merakyat merupakan pasangan yang ideal. Bukan berarti pasangan lain tidak kapabel, bukan…bukan itu..secara umum kita patut berbangga, kontestan pada Pilkada tahun ini merupakah tokoh yang secara intelektualitas tidak bisa kita ragukan lagi. Tapi akhirnya, rakyat telah memilih, pasangan yang dulu di unggulkan dalam berbagai poling akhirnya mendapat mayoritas suara rakyat.
Tapi di kota Banda Aceh, dan beberapa kota lainnya di propinsi ini keadaan ini justru bertolak belakang. Dari hari H pilkada, semua media, baik media lokal maupun nasional mempertanyakan banyaknya penduduk yang tidak bisa mengeluarkan pendapatnya. Semua media nasional menyebutkan hampir sebagian warga kota Banda Aceh tidak bisa memilih. Berbagai alasan dikemukan oleh penduduk yang tidak bisa menyampaikan aspirasi politiknya itu. Alasan utama adalah mereka tidak mendapatkan kartu pemilih atau surat undangan untuk memilih. Ironis memang. Jika hal ini terjadi di daerah Papua yang penduduknya tersebar tidak merata dengan jangkauan wilayah sangat sulit mungkin kita bisa memakluminya. Tapi ini terjadi di sebuah kota yang luasnya hanya beberapa puluh kilometer persegi dan jumlah penduduknya tidak sampai 300.000 jiwa, bagaimana kita bisa menjawabnya dengan logika berpikir kita?
Alasan yang dikemukan oleh KIP pun kadang-kadang menggelitik logika berpikir kita. Memang, di kota Banda Aceh ini banyak pekerja yang berasal dari luar daerah. Kalau itu alasannya, apa juga fungsi pembuatan KTP nasional yang dilakukan dengan dana milyaran rupiah ? alasan yang mengatakan bahwa masyarakat tidak mendaftarkan diri juga terdengar lucu. Bukankah memilih itu merupakan hak warga negara, dan negara wajib menjamin agar hak warganya terpenuhi. Kita harus memahami bahwa memilih itu bukan merupakan kewajiban warga negara, sehingga negara lah (dalam hal ini pemda kota Banda Aceh melalui KIP) yang harus lebih aktif melakukan pendaftaran pemilih. Bukan malah sebaliknya. Dua hal ini yang kemudian menyebabkan Pilkada tahun ini tercoreng namanya.
Tapi apapun alasan yang dikemukakan oleh sebagian besar masyarakat, semua keputusan berada di tangan KIP. Merekalah yang berhak menentukan pilkada untuk kota Banda Aceh sah atau tidak. Permisalan dengan PBB, KIP memiliki hak veto dalam mensahkan pilkada di kota Banda Aceh. Kita berharap apapun keputusan yang diambil KIP dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat banyak. Karena pilkada ini merupakan pilkada rakyat. Kemenangan para kontestan juga merupakan kemenangan rakyat. Terimakasih kepada Serambi yang memuat komentar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar