Ini merupakan tulisan lama dan pernah di muat di sebuah harian lokal di Aceh.
Tanggal 2 Mei menjadi hari yang penting buat kita karena pada hari itu kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Berbagai kegiatan menyambut hari ini digelar. Dari upacara bendera sampai berbagai lomba yang diikuti oleh siswa sekolahan. Tetapi apa urgensi peringatan hari Pendidikan Nasional ini bagi kita??
Coba anda tanyakan apa makna hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei bagi siswa sekolah. “Capek dan lelah” pasti itu jawaban mereka. Lho kok? Ya. Karena setiap tanggal 2 Mei Dinas Pendidikan setiap propinsi maupun kabupatennya pasti mengadakan apel bendera. Dan apel bendera itu pasti berkonotasi satu; kegiatan lebih dari empat jam di terik matahari serta melibatkan seluruh siswa dari berbagai tingkatan pendidikan.
Kemudian coba anda tanyakan hal pertanyaan tadi kepada bapak dan ibu guru mereka. Jawaban berbeda akan anda dapatkan. Makna tanggal 2 Mei bagi mereka adalah; adanya pemberian tanda jasa bagi guru yang telah mengajar 25-30 tahun. Cuma itu?? Mungkin anda akan mendapatkan jawaban lain, tapi intinya tidak jauh berbeda; peringatan Hari Pendidikan Nasional hanya kegiatan seremonial belaka.
Anda mau bertanya kepada pihak pemerintah??Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya. Saya kira tidak usah lah. Pasti jawabannya tidak jauh-jauh berbeda. Paling ada sedikit penambahan alasan. Dan yang pasti ini menyangkut masalah anggaran. Menghabiskan anggaran kegiatan tanggal 2 Mei, itu intinya.
Sebenarnya apa makna peringatan Hari Pendidikan Nasional itu? Ada baiknya kita tinjau dulu asal muasal tanggal 2 Mei tersebut. Rupanya tanggal tersebut merupakan tanggal lahir salah seorang tokoh pendidikan yang juga Menteri Pengajaran (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) pertama Indonesia, Suwardi Surjanigrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Beliau lahir tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Sebenarnya apa sih hebatnya seorang Ki Hajar Dewantara sehingga tanggal lahirnya diperingati oleh seluruh insan pendidikan di Indonesia? Alasan utamanya karena beliau adalah salah seorang pendiri Perhimpunan Indonesia – organisasi yang disebut-sebut ikut andil pada masa-masa pergerakan nasional Indonesia. Bersama dua orang tokoh lainnya, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa, sekolah modern pertama di Indonesia yang diperuntukkan untuk pribumi.
Perguruan Taman Siswa ini memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan pendidikan nasional Indonesia hingga sampai saat ini. Sehingga tidak hanya kelahiran pendirinya yang diperingati, bahkan adagium Perguruan ini pun juga ditambalkan sebagai semboyan Departemen Pendidikan Nasional. “Tut Wuri Handayani” mempunyai arti: “tetap mempengaruhi dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak didik untuk berjalan sendiri”.
Semboyan lengkap dari adagium ini adalah: Hing ngarsa Sung Tulada (Didepan berilah teladan), Hing Madya Mangun Karsa (Di tengah ikut serta membentuk kehendak) dan Tut Wuri Handayani (dibelakang tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak-anak). Inilah mungkin sejarah penambalan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional. Jadi makna sesungguhnya peringatan hari pendidikan Nasional adalah kita memflash back kembali perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia.
Sekarang kita berbicara tentang pendidikan di daerah kita, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tahun 2005, pendidikan kita diawali dengan hancurnya lebih setengah fasilitas pendidikan di Ibukota propinsi, Banda Aceh. Setengah guru dan siswa menjadi keganasan Tsunami yang menyerang akhir tahun 2004. Kota-kota kabupaten lainnya menjadi luluh lantak. Meulaboh dan Calang merupakan kota terparah. Sehingga mau tak mau fasilitas pendidikan di kedua kota ini berimbas. Ratusan bahkan ribuan bangunan sekolah rusak dan hancur total. Triliunan rupiah kerugian ditaksir. Belum lagi dampak psikologis yang menimpa siswa dan guru kita.
Sebelum musibah Tsunami menyerang Aceh, pendidikan di Aceh menempati urutan –urutan akhir dari propinsi yang ada di Indonesia. Kasus pembakaran sekolah menjadi akibat dari menurunnya kualitas pendidikan di Aceh. Ratusan gedung sekolah yang dibakar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut telah menyisakan derita yang panjang mengenai nasib pendidikan di daerah kita. Pembakaran ini juga telah menyebabkan banyak siswa yang harus putus sekolah, atau harus belajar di tenda darurat sambil menunggu pembangunan kembali sekolahnya.
Pendidikan di Aceh memang sedang mengalami cobaan. Jika beberapa tahun lalu cobaan ini berupa pembakaran sekolah, kini musibah Tsunami menjadi cobaan terberat kita. Belum lagi cobaan dari pihak manusia sendiri. Korupsi anggaran pendidikan, salah satunya, juga telah menghancurkan sendi-sendi pendidikan.
Setelah lebih dari satu tahun bencana gempa dan Tsunami melanda Aceh, tidak ada penambahan yang signifikan pada bangunan sekolah. Hanya beberapa bangunan sekolah yang diperbaiki atau dibangun kembali. Apalagi di kota-kota yang tingkat kehancuran bangunannya sangat tinggi seperti di kota Meulaboh dan Calang, persentase pembangunan sekolah hanya beberapa persen saja.
Masih banyak siswa yang belajar di tenda-tenda. Padahal dana puluhan bahkan ratusan triliun mengalir ke propinsi ini. Ironis memang. Padahal Badan rehabilaitasi dan Rekosntruksi ( BRR) NAD-Nias seharusnya mempunyai andil yang besar dalam pembangunan kembali bangunan sekolah yang hancur atau rusak oleh Tsunami. Sebagian besar sekolah ini dibangun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Government Organization = NGO) lokal dan internasional maupun dari badan-badan donor suatu perusahaan.
Tidak hanya bangunan fisik sekolah, dari segi kualitas pun, pendidikan di propinsi ini sangat terpuruk. Salah satu indikatornya adalah Nilai Ujian Nasional SMP dan SMA. Data harian Kompas Agustus 2005, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menduduki peringkat 4 dan 2 terbanyak tidak lulus pada Ujian Nasional tahun 2005 !! coba kita bayangkan. Alas an Tsunami memang alas an yang selalu didengung-dengungkan berkaitan dengan fenomena. Tapi alangkah naifnya kita kalau alas an ini selalu kita kemukakan untuk mempertahankan ego kita karena merosotnya mutu pendidikan. Walaupun Tsunami bisa menjadi alas an yang logis dan rasional.
Dari berbagai literatur disebutkan, pendidikan dan pengajaran Islam di Aceh dimulai semenjak agama Islam masuk dan dianut di kerajaan Islam pertama, Samudera Pasai, pada abad ke-13 berupa pesantren yang lebih dikenal dengan istilah dayah. Pendidikan dayah ini sempat mengalami masa keemasan seiring dengan kejayaan Kerajaan Aceh dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Tetapi kemudian mengalami kemunduran karena kekurangcakapan raja-raja yang memerintah selanjutnya.
Berdirinya madrasah-madrasah mulai tahun 1930 menandai bangkitnya kembali perkembangan pendidikan Islam di Aceh. Pada tahun 1930 berdiri Madrasah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh Sigli dibawah pimpinan Tgk. Daud Bereueh. Pada tahun itu juga didirikan Madrasah Darul Huda di Bambi, Madrasah Al Muslim di Peusangan. Berselang sepuluh tahun kemudian, berdiri Madrasah Jadam dan Ma’had Iskandar Muda di Aceh Besar.
Kemudian setelah masa kemerdekaan, pendidikan di Aceh mulai memasuki proses modernisasi. Pendidikan dayah berganti dengan pendidikan sekolah yang tidak hanya mengajarkan “ilmu akhirat” tetapi juga ilmu dunia. Pendidikan dayah yang masih bersifat tradisional dengan sistem pendidikan terpaku digantikan dengan pendidikan sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan barat. Walaupun demikian pendidikan dayah juga masih menjadi alternatif untuk mengembangkan kualitas pendidikan. Sehingga akulturasi sistem pendidikan melahirkan suatu sistem baru yang disebut dengan pesantren modern atau dayah terpadu, yang menggabungkan sistem pendidikan agama (Islam pada khususnya) dan pendidikan umum. Sistem boarding school (asrama) ini sangat bermamfaat sekarang untuk mengantisipasi degradasi moral yang menimpa remaja kita sekarang ini.
Yang menjadi permasalahan kita sekarang adalah, kemana orientasi pendidikan kita? Hal ini wajar ditanyakan, karena banyak lulusan sekolah kita yang kemudian menjadi bingung kemana arah masa depannya. Perguruan Tinggi hanya melahirkan pengangguran-pengangguran baru yang tidak memiliki skill yang cukup menghadapi dunia kerja. Sekarang ini lulusan Perguruan Tinggi kita hanya memikirkan menjadi Pegawai Negeri Sipil, karena memang mereka hanya tidak dibekali dengan materi kewirausahaan. Bagaimana menciptakan sarjana yang mampu membuka peluang kerja seharusnya mendapat perhatian lebih para pengelola pendidikan tinggi kita.
Kenakalan remaja menjadi masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh pendidikan kita. Pergaulan bebas, narkotika, dan tawuran pelajar menjadi masalah yang, ditutupi atau tidak, menjadi momok bagi insan pendidikan di negeri kita ini. Hasil penelitian terbaru yang menyebutkan kecendrungan meningkatnya siswi sekolah yang hamil diluar nikah dan meningkatnya pemakaian narkotika dan obat-obatan psikotropika lainnya cukup memalukan kita. Apalagi di daerah Aceh, yang nota bene nya terkenal karena syariat Islamnya. Apa yang telah pendidikan lakukan untuk mengatasi masalah ini?? Tidak ada bukan. Pelajaran agama yang seharusnya menempati porsi yang besar malah hanya diberikan dua jam pelajaran, pada waktu-waktu yang tidak menarik pula. Siapa yang salah??
Beberapa bukan yang lalu, ketika kami membuat sebuah dialog interaktif pada sebuah radio swasta di ibukota kabupaten, penulis termasuk salah seorang yang diundang menjadi pembicara, termasuk Kepala Dinas Pendidikan serta Ketua Komisi Pendidikan DPRD. Pada kesempatan itu penulis mempertanyakan sejauhmana peran guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di provinsi kita. Karena seperti kita katahui, mutu guru yang semakin lama semakin menurun, ikut menjadi andil terpuruknya pendidikan kita.
Kita mengakui rendahnya kualitas sebagian besar guru sekarang, tapi kita tidak bisa melepaskan kesalahan langsung di pundak mereka. Gaji yang pas-pasan dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, kesempatan terbatas untuk meningkatkan kualitas melalui pelatihan atau penataran, ditambah dengan banyak factor lain menjadi alasan logis menurunnya kualitas rata-rata guru. Apalagi kalau kita melihat bahwa menjadi guru bukan merupakan pilihan utama setiap orang. Dengan bahasa sederhana, menjadi guru adalah pilihan terakhir bagi setiap lulusan SMA/sederajat.
Hal ini terbukti dengan minimnya peminat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di setiap universitas yang ada di Indonesia, di Aceh khususnya. FKIP Unsyiah merupakan pilihan “jaga-jaga” dan ditempatkan pada pilihan kedua atau ketiga oleh para peserta SPMB. dan menjadi mahasiswa FKIP kurang elite dibandingkan dengan mahasiswa lain, kedokteran atau teknik misalnya.
Mengapa stereotip ini terbentuk ? Adalah hal yang wajar bila masyarakat melihat menjadi seorang guru tidak akan mampu menjadi orang kaya. Berbeda halnya dengan menjadi seorang dokter atau insinyur misalnya, walaupun sekarang guru merupakan posisi terbanyak yang dibutuhkan pada setiap penerimaan tes CPNS.
Makanya, penulis menjadi tertarik ketika Kadis Pendidikan mengusulkan agar FKIP ditutup saja. Sebagai gantinya guru diangkat dari lulusan fakultas lain selain FKIP yang berkaitan dengan pelajaran yang diajarkannya. Misalkan untuk guru Matematika dapat diangkat dari lulusan Fakultas MIPA, Fakultas Teknik dll yang berkaitan dengan pelajaran Matematika. Begitu juga dengan Biologi, dari lulusan Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian dan lain-lain. Kemudian gaji guru disesuaikan dengan gaji profesi lain, misalnya dokter. Dengan tunjangan fungsional yang sama, maka minat siswa lulusan SMA/sederajat yang mempunyai intelegensia lebih tinggi menjadi guru akan meningkat. Sehingga diharapkan nanti mutu pembelajaran akan semakin meningkat.
Mungkin momentum dengan peringatan hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei ini, kita mesti berkaca lagi, sejauh mana pendidikan yang diterapkan di Negara ini, atau di daerah ini, mampu memberikan makna kepada kehidupan kita. Karena seperti disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang berilmu pengetahuan yang tinggi, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia. Mari kita jadikan sekolah tidak hanya sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai tempat pengembangan akhlak yang mulia. Semoga.
Prospek pendidikan Aceh ke depan
Banyak pertanyaan muncul mempertanyakan prospek pendidikan Aceh ke depan. Penulis selalu menjawab insyaallah akan sangat bagus. Banyak hal yang mendasari kesimpulan penulis itu. Salah satunya adalah ikut campur tangannya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut terlibat aktif dalam bidang pendidikan. Sekarang ini banyak bangunan sekolah yang fasilitasnya dibangun dan dibiayai oleh lembaga tersebut. Adanya keterlibatan lembaga ini sangat membantu meningkatkan mutu pendidikan di Naggroe Aceh Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar