expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 31 Maret 2009

Mengapa Harus Ke Malaysia?

Terbit pada rubrik Analisis, Harian Aceh, Selasa, 31 Maret 2008.  

Menara kembar di Kuala Lumpur, Malaysia (muhsin)
Sebuah surat kabar berbahasa Inggris yang terbit di Malaysia, “Star”, edisi 25 Maret 2009 memberitakan tentang peningkatan wisata kesehatan (Medical Tourism) di Malaysia akhir-akhir ini. Surat kabar tersebut mengatakan di tengah kemerosotan bidang ekonomi dan bisnis di dunia termasuk Malaysia, justru sektor wisata kesehatan ini memberi keuntungan yang luar biasa bagi ekonomi Malaysia. Data statistik dari Kementerian Pariwiasata Malaysia menyebutkan bahwa sebanyak 75.210 orang warga negara asing berobat di Malaysia pada tahun 2001. Angka ini meningkat empat kali lipat pada tahun 2006, yaitu berjumlah 296.687, dengan pemasukan mencapai 60,31 juta ringgit atau setara dengan Rp. 195 milyar. Asosiasi Rumah Sakit Malaysia bahkan memperkirakan sektor ini akan memberikan kontribusi sebanyak Rp. 1,78 triliun pada tahun 2010 dengan angka kunjungan pasien asing berjumlah sekitar 625.000 orang. Koran tersebut juga menyebutkan bahwa sekitar 70% dari pasien tersebut berasal dari Indonesia.
Tapi sayangnya surat kabar tersebut tidak merinci daerah-daerah mana yang menjadi penyumbang devisa bagi Malaysia di sektor ini. Dalam bagian lain surat kabar tersebut menulis, peningkatan pesat pada sektor ini tidak terlepas jauh dari kontribusi aktif pemerintah Malaysia dalam meningkatkan sistem infrastruktur kesehatan sehingga mampu bersaing di tingkat regional bahkan internasional. Malaysia juga memandang bahwa sektor ini menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi negaranya sehingga mereka menaruh perhatian serius terhadap upaya-upaya peningkatan di bidang kesehatan.

Beberapa harian lokal Aceh beberapa hari yang lalu juga menulis sebuah berita yang menggembirakan tentang kondisi kesehatan Gubernur Aceh yang kembali membaik setelah sempat dikabarkan terkena infeksi lambung beberapa hari sebelumnya.  Infeksi ini, tulis beberapa koran tersebut, telah menyebabkan terjadinya perdarahan saat buang air besar dan beliau harus di rawat di Malaysia. Kondisi beliau yang kembali seperti semula menjadi kabar gembira bagi masyarakat Aceh karena sebelumnya tersebar isu dari pihak yang tidak bertanggung jawab melalui SMS yang mengatakan beliau sudah meninggal dunia. Harian ini juga menulis kondisi fisik beliau yang keseluruhan tampak segar bugar dan energik setelah sebelumnya diberitakan menjalani perawatan di Rumah Sakit Subang Medical Centre, Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana beliau menjalani beberapa proses pemeriksaan termasuk endoscopy dan colonoscopy. Koran juga mengutip pernyataan beliau bahwa tujuan beliau ke Malaysia bukan karena sakit yang mengkhawatirkan, tetapi hanya untuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya perdarahan tersbut. “Kita tidak tahu lukanya di mana dan sampai mengeluarkan darah. Kalau lukanya di kulit saya tidak bingung cukup dengan (menutupi) pakai handyplast, langsung darah berhenti. Tapi kalau gangguannya di usus di mana mau ditempeli handyplast,” katanya bercanda seperti yang dikutip sebuah harian lokal edisi 24 Maret 2009 lalu.
*****

Apa yang menarik untuk kita cermati pada kedua kutipan berita tadi. Menurut kami, keduanya mempunyai korelasi yang erat dan patut menjadi bahan kajian kita bersama. Dari berita pertama jelas kita tahu bahwa selama ini angka kunjungan orang berobat ke Malaysia sangat meningkat bahkan mencapai empat kali lipat selama periode lima tahun. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa animo masyarakat Indonesia khususnya yang berasal dari Aceh untuk berobat ke Malaysia menjadi sangat tinggi apalagi akhir-akhir ini. Banyak indikator yang mengarah kepada asumsi tersebut. Yang paling mudah adalah; kita bisa menghitung berapa orang dari pihak keluarga dekat atau keluarga jauh kita  yang pernah berobat di Malaysia. Paling sedikit satu orang dari keluarga dekat atau keluarga besar kita pernah berobat ke sana.

Indikator lainnya yang menguatkan statistik di atas adalah berapa jumlah keberangkatan dan kedatangan pada Bandar Udara Internasional Iskandar Muda sebagai pintu masuk dan keluar bagi masyarakat yang akan ke luar negeri. Kita bisa lihat, flight Air Asia jurusan Banda Aceh-Kuala Lumpur selalu di sesaki oleh penumpang yang akan berangkat ke Malaysia atau tiba di Banda Aceh dengan berbagai keperluan termasuk sebagian besarnya dengan tujuan berobat. Dulu, sebelum regulasi wajib fiskal di berlakukan, penerbangan Air Asia jurusan Banda Aceh – KL dan sebaliknya tersedia setiap harinya. Kalau misalnya sekali terbang, pesawat mengangkut 150 orang, maka paling sedikit 1.000 orang berkunjung ke Malaysia setiap minggunya. Kalau kita bisa berasumsi bahwa dari jumlah tersebut yang merupakan pasien yang akan berobat sekitar 20%, maka sebanyak 200 orang berobat ke Malaysia setiap minggunya. Kita bisa menghitung berapa jumlah pasien yang berkunjung ke sana setiap bulan, dan tahun. 

Secara ekonomi, kalau setiap orang menghabiskan sebanyak Rp. 3 juta (nilai paling minimal biaya berobat di Malaysia) maka uang yang masuk ke rumah sakit Malaysia setiap minggunya adalah sekitar Rp. 600 juta. Dan biaya ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk akomodasi, konsumsi dan biaya lainnya di Malaysia. Biaya yang kami sebutkan tadi merupakan cost paling minimal yang dikeluarkan oleh seseorang untuk berobat di sana. Bisa kita hitung berapa devisa negara yang hilang setiap bulan dan tahunnya. Walaupun masyarakat bisa berkilah bahwa uang yang dikeluarkan adalah uang mereka sendiri sehingga mereka berhak menghabiskan uang itu kemana pun mereka inginkan.

Mengapa harus ke Malaysia?
Pertanyaan ini selalu terlintas di benak kami setiap kali melihat orang berbondong-bondong berobat ke Malaysia. Kalau kita contohkan kasus bapak gubernur kita, maka tujuan berobat ke luar negeri dengan menghabiskan banyak uang (baik uang pribadi maupun uang negara) merupakan suatu tindakan yang – kami kira, tidak terlalu mendesak. Toh kita bisa melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut di Aceh. Setahu kami, Rumah Sakit Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSDZA) memiliki alat yang bisa digunakan untuk pemeriksaan endoscopy dan colonoscopy. Setahu kami juga, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan RSDZA memiliki seorang konsultan ahli di bidang ini. FK Unsyiah juga memiliki banyak konsultan ahli pada berbagai disiplin ilmu kedokteran yang kami kira kemampuannya tidak perlu diragukan, karena telah melewati kursus-kursus keahlian baik di dalam maupun di luar negeri. Jadi mengapa kita tidak mencintai ‘produk dalam negeri‘?

Selain masalah biaya, ada hal lain yang kami kira lebih penting untuk menjadi perhatian kita semua, yaitu proses transfer teknologi. Sudah saatnya masyarakat Aceh kembali mencintai produk lokal sehingga dana yang terbuang ke luar negeri bisa kita mamfaatkan untuk mengembangkan fasilitas dan infrastruktur kesehatan di daerah ini. Hal ini akan meningkatkan daya saing industri kesehatan daerah yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan kualitas kesehatan lokal itu sendiri. Kalau semua kita berobat ke luar negeri, bagaimana transfer teknologi kedokteran itu bisa terlaksana?

Kami kira, banyak faktor yang menyebabkan larinya pasien ke luar negeri. Penyebab utamanya adalah ketidakpercayaan pasien terhadap sistem kesehatan yang dijalankan di Indonesia termasuk di Aceh. Ketidakpercayaan itu bersifat ekstrinsik maupun instrinsik. Ekstrinsik maksudnya adalah ketidakpercayaan itu disebabkan oleh perilaku dan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan itu sendiri. Kurangnya sifat ‘melayani’ pada sebagian tenaga kesehatan menjadi penyebab ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem kesehatan itu sendiri. Penyebab lainnya adalah pemberitaan di media massa tentang kasus dugaan malpraktek yang membuat masyarakat ‘paranoid‘ jika harus berhadapan dengan rumah sakit maupun tenaga kesehatan lokal. Faktor ekstrinsik lain adalah hebatnya promosi kesehatan yang dilakukan oleh negara tetangga terhadap pelayanan kesehatan di negara mereka. Mereka juga menawarkan kemudahan di samping pelayanan yang juga sangat memuaskan. Mereka menyediakan paket wisata kesehatan dengan harga lebih miring dan berbagai kemudahan ditawarkan termasuk penginapan serta ‘medical check up’. Hal ini membuat masyarakat kita, yang sekarang sudah menjadi masyarakat kritis serta sangat menghargai kenyamanan dan servis yang memuaskan, berduyun-duyun berobat ke Malaysia dan negara tetangga lainnya termasuk Singapura.

Penyebab instriksik menurut kami adalah pola pikir serta pandangan masyarakat Indonesia dan terutama masyarakat Aceh yang tidak yakin terhadap produk lokal. Kalau kami boleh menggunakan istilah, maka rakyat kita agak ‘rendah diri‘ atau istilah kerennya sekarang ‘Nggak Pede‘. Bangsa Indonesia termasuk orang Aceh di dalamnya, merasa rendah dan tidak bangga dengan produk dalam negeri. Kita selalu mengganggap produk luar lah yang paling bagus mutunya. Oleh karena itu semua yang berasal dari luar selalu bagus menurut kita. Padahal kita tahu bahwa tidak semua produk luar bagus kualitasnya dan tidak semua produk lokal memiliki kualitas yang jelek. Begitu juga dengan dokter dan perawat serta tenga kesehatan lainnya di Aceh. Para dokter telah melalui pendidikan yang bermutu dan berstandar sama dengan pendidikan di luar negeri. Mereka mempelajari hal yang sama dari sumber yang sama. Apalagi dengan perkembangan teknologi kedokteran yang semakin cepat. Semua informasi bisa diperoleh melalui internet. Jadi apa bedanya? Sudah saatnya kita merubah pola pikir dan pandangan kita terhadap produk lokal.

Tetapi yang pasti, pemimpin berada di garda terdepan dalam memperjuangkan kemajuan suatu daerah, termasuk kemajuan di sektor kesehatan. Tanpa adanya niat yang kuat disertai perbuatan yang nyata untuk merubah suatu kecenderungan yang menjurus kepada tren ini, maka mustahil suatu perubahan dapat terwujud. Pemimpin memberi contoh kepada masyarakat bagaimana seharusnya bertindak sehingga nantinya akan diikuti oleh masyarakat. Sehingga cita-cita pemimpin yang telah kita pilih secara langsung dan demokratis ini, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh pada semua lini kehidupan termasuk sektor kesehatan bisa terwujud hendaknya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar