expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 07 Agustus 2011

Puasa di Jerman, 19 jam yang penuh tantangan

Menu Buka Puasa di Jerman. (muhsin)
Tahun ini merupakan tahun keempat saya menjalankan ibadah puasa di Jerman. Layaknya negara eropa lainnya, Jerman juga berpenduduk mayoritas non-muslim dengan sepertiga penduduknya tidak mempunyai agama (atheis). Komunitas muslim yang hanya 4 persen saja dari sekitar 80 juta penduduknya memang belum diakui haknya oleh negara. Walaupun demikian, pertumbuhan ummat muslim yang meningkat pesat, baik dari masyarakat Jerman yang berpindah agama, maupun imigran, memberi nuansa tersendiri terutama di bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Jerman merupakan negara sekuler yang memisahkan agama dengan negara sehingga tidak mengakui adanya bulan Ramadhan. Hal ini mengakibatkan hak-hak muslim untuk mendapatkan keringanan dalam belajar maupun bekerja tidak diatur dalam undang-undang. Menjalankan puasa di negara yang mayoritas penduduknya non muslim memang memiliki tantangan tersendiri. Apalagi kalau puasa tersebut jatuh pada musim panas seperti sekarang ini. Selain waktu pelaksanaannya jauh lebih panjang karena paparan sinar matahari yang lebih lama, tantangan lainnya seperti lingkungan sekitar yang tidak ‘pro‘ orang berpuasa juga menambah cabaran menjalani puasa di negeri ini.

Puasa di Jerman tahun ini di mulai Selasa lalu, bersamaan waktunya dengan awal ramadhan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Di Jerman, keputusan penentuan awal puasa dikeluarkan oleh badan koordinator organisasi Islam yang beranggotakan empat organisasi Islam terbesar di Jerman dan Eropa. Selain itu, di Jerman dan Eropa pada umumnya terdapat banyak perkumpulan ummat Islam yang tersebar di seluruh kota. Penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal biasanya diumumkan di situs resmi organisasi tersebut dan kemudian disiarkan ke seluruh ummat Islam melalui organisasi ummat Islam yang ada di Jerman melalui mailing list, maupun dari mulut ke mulut, tidak seperti di negara kita yang diumumkan langsung melalui televisi dan radio.

Karena bertepatan dengan musim panas, maka puasa pada tahun ini dan beberapa tahun sebelumnya lebih lama waktunya dibandingkan dengan puasa di tanah air. Pada awal-awal ramadhan, waktu sahur berkisar antara jam 3 hingga jam 4 dini hari dan sangat tergantung pada letak suatu daerah; semakin ke timur, shubuhnya akan semakin cepat. Sedangkan maghrib berkisar antara pukul 9-10 malam. Hal ini membuat ummat muslim disini harus berpuasa sekitar 18-19 jam sehari. Isya di Jerman dimulai sekitar pukul 11.30 malam, sehingga jarak waktu antara Isya dan shubuh hanya beberapa jam saja. Jarak yang lumayan singkat ini  membuat orang harus mengatur jam tidur agar tidak kehilangan sahurnya. Tetapi hal ini bisa disikapi dengan menjamak shalat seperti yang difatwakan oleh ulama-ulama di Eropa.

Cuaca yang ekstrim juga mempengaruhi stamina orang berpuasa di Jerman. Suhu udara kadangkala berubah dengan cepat, dari panas (bisa sampai 37 derajat celcius) menjadi hujan yang dingin, bahkan bisa turun hingga belasan derajat celsius. Selain karena faktor suhu, lingkungan non puasa juga memberikan tantangan tersendiri bagi orang yang berpuasa di sini. Orang-orang yang berkeliaran dengan membawa makanan dan minuman membuat orang yang berpuasa harus banyk bersabar hingga waktunya berbuka. Selain itu, muslim laki-laki di Jerman yang menjalankan puasa harus menahan pandangan lebih ekstra di musim ini agar tidak kehilangan pahala puasa, karena akan banyak terlihat pemandangan yang lebih ‘terbuka‘ yang jarang kita dapatkan pada musim lainnya apalagi pada musim dingin.

Satu hal yang menarik akhir-akhir ini adalah, dengan semakin bertambahnya populasi muslim dan informasi di surat kabar dan televisi, masyarakat Jerman sedikit demi sedikit mulai mengetahui tentang ibadah puasa ummat Islam di bulan ramadhan sehingga meningkatkan toleransi mereka terhadap orang yang berpuasa seperti dengan tidak menawarkan makanan dan minuman kepada muslim yang sedang berpuasa. Tetapi walaupun demikian, sikap profesionalitas dan pekerja keras sebagian besar masyarakat Jerman membuat tanggung jawab profesi tidak berkurang sedikitpun di bulan ini. Ummat Islam yang berstatus pelajar, mahasiswa maupun pekerja hanya sedikit bahkan tidak mendapatkan keringanan sama sekali di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya, dan dispensasi pengurangan jam bekerja maupun jam belajar per minggu seperti yang kita dapatkan di Indonesia, tidak berlaku disini. Saya menghabiskan 8-9 jam sehari selama 5 hari penuh berada di laboratorium. Hal ini mungkin sangat kentara dibandingkan dengan suasana puasa di tanah air dengan berbagai kemudahan bagi pelajar dan pekerja.

Jarak antara Isya dan Shubuh yang hanya sekitar 3-4 jam saja seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya sangat berpengaruh terhadap persiapan sahur bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang ada di sini. Apalagi bagi pelajar yang tinggal di asrama dengan dapur bersama, mempersiapkan sahur ketika orang sedang asik tidur pasti bukan suatu pekerjaan yang mudah. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa masyarakat barat dikenal sangat menjaga privasi dan ketentraman diri. Oleh karena itu, banyak pelajar dan mahasiswa yang menempati asrama mahasiswa yang dapurnya berbagi dengan mahasiswa lainnya terpaksa harus mempersiapkan makanan untuk berbuka dan sahur secara bersamaan pada waktu sore hari. Tapi bagi mahasiswa yang memiliki keluarga dan menempati rumah sewa pribadi, kendala tadi mungkin tidak ditemui. Walaupun demikian, singkatnya waktu antara Maghrib dan Shubuh juga mempengaruhi mereka dalam mempersiapkan menu untuk sahur.

Aktivitas sehari-hari tidak berbeda dengan hari lainnya. Para pelajar atau mahasiswa tetap mengikuti pelajaran dan perkuliahan seperti biasa. Sedangkan para pekerja tetap masuk sesuai dengan jam kerja di Jerman, yaitu jam 8 pagi hingga 5 sore. Bahkan bagi pekerja yang pekerjaan tidak selesai terpaksa harus pulang lebih lama alias lembur. Waktu maghrib yang lebih lama membuat lembur hingga jam 8 atau 9 tidak menjadi masalah, karena suasananya masih terang, hampir mirip suasananya seperti jam 4 atau 5 sore di negara kita.

Toko-toko makanan khususnya toko roti , sama seperti hari lain, biasanya tutup lebih cepat, sekitar pukul 9 sore. Tapi biasanya toko makanan lainnya seperti toko kebab (makanan khas Turki dengan daging potong, sayuran dan roti) yang sebagian besar dipunyai oleh komunitas Turki umumnya tutup lebih lama. Kios kebab yang halal banyak dijadikan ummat muslim disini sebagai tempat berbuka bersama (buka bareng alias bubar). Tradisi ini mungkin di bawa dari negaranya masing-masig dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Seperti dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang tetap membuat acara buka puasa, shalat maghrib, isya dan tarawih berjamaah setiap minggunya. Salah satu kendala pada kegiatan ini adalah karena shalat tarawih selesai tengah malam sekitar jam 12 dan biasanya transportasi publik mulai jarang dijumpai pada jam segini. Apalagi sebagian besar masyarakat kita adalah pelajar yang tidak memiliki kenderaan pribadi, sehingga shalat tarawih berjamaah banyak yang tidak mengikuti. Selain kendala tadi, selebihnya acara seperti ini selalu dinanti-nantikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya bagi pelajar dan mahasiswa serta yang sudah bermukim di Jerman, sebagai pelepas rindu dengan keluarga dan makanan di tanah air. Selain pada komunitas muslim dari berbagai negara, mesjid-mesjid juga menyediakan penganan untuk berbuka yang juga tidak disia-siakan oleh para pelajar dan mahasiswa dari perantauan. Menu yang disajikan juga beragam, khas dari negara asal jamaah mesjid tersebut. Misalnya di mesjid Arab, kita akan sering menjumpai daging kambing serta makanan khas Arab lainnya.


Selebihnya tidak ada yang istimewa dari puasa di Jerman. Waktu yang terbatas untuk menjalankan ibadah sunah seperti tadarus dan shalat sunat lainnya di mesjid pada waktu siang hari menambah kerinduan berpuasa di tanah air. Apalagi dengan kenyataan bahwa mesjid sangat jarang dijumpai di negara ini, serta jarak tempuh yang lumayan jauh. Tetapi hal ini disikapi oleh masyarakat muslim di sini dengan ibadah ketika malam hari, walaupun tidak begitu maksimal seperti di siang hari. Satu lagi yang mungkin akan sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia yang berada di sini adalah bunyi beduk ketika waktu berbuka. Di Jerman, kita tidak akan mendengar bunyi beduk. Bahkan azan pun tidak akan kita dengar kalau kita berada di rumah, kecuali melalui fasilitas internet. Kerinduan akan bunyi beduk tanda berbuka puasa serta suara azan biasanya disikapi oleh masyarakat Indonesia dengan mendengarkannya melalui fasilitas streaming di internet. Kita bisa mendengarkan halaqah dari mesjid-mesjid di Indonesia dan ceramah puasa setiap harinya melalui fasilitas streaming radio maupun TV. Shalat isya dan tarawih di Masjidil Haram pun sekarang bisa disaksikan langsung melalui internet. Perkembangan teknologi memang sangat membantu bagi semua orang apalagi bagi orang yang berada jauh dari kampung halaman.


Inilah sekelumit cerita puasa di Jerman, sebuah negara maju dengan minoritas muslim. Banyak hal yang terjadi di sini mungkin tidak pernah terjadi di tanah air. Tantangan dan cobaan selama berpuasa semakin meneguhkan iman kita dan membuat semakin yakin akan kekuasaan dan kasih sayang Allah terhadap hambaNya, walaupun berada di negara dengan mayoritas penduduknya non muslim. Cobaan-cobaan tersebut hanyalah sebagian kecil saja dibandingkan dengan cobaan yang diterima Rasulullah dan para sahabat ketika menyebarkan agama ini. Dengan iman lah insya Allah tantangan dan cabaran tersebut menjadi tidak berharga. Dan ummat muslim di sini percaya bahwa semakin berat tantangan dan cobaan yang dialami, semakin tinggi statusnya di mata Allah serta semakin banyak pahala yang akan diterimanya. Amien ya rabbal ‘alamien.

Note: Dimuat di rubrik Citizen Reporter Harian Serambi Indonesia, Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar