expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Februari 2009

Memahami Tugas Tenaga Kesehatan

ilustrasi dokter (muhsin)
Berita tentang kasus kesalahan tindakan medis kembali terjadi (lagi). Kali ini diberitakan seorang pasien meninggal setelah dibiarkan begitu saja oleh tenaga medis. Kemarin saya juga membaca sebuah opini menarik tentang kasus ‘malpraktek‘ menurut versi masyarakat awam. Bukan kali ini saja, sudah berkali-kali kita mendengar kasus serupa terjadi di Aceh. Tapi saya belum pernah mendengar ada tanggapan dari pihak medis terhadap semua kasus tersebut. Apakah pihak tenaga medis, dalam hal ini rumah sakit ataukah tenaga kesehatan lainnya, sudah lelah menjelaskan hal ini kepada masyarakat ataukah memang ketakutan yang luar biasa sehingga mereka memilih untuk berdiam diri. Ataukah memang ilmu yang didapatkan selama bangku kuliah dan praktek di rumah sakit yang membuat tenaga kesehatan (dokter dan perawat) lebih memilih diam dan bersabar? Bukankah profesi tenaga kesehatan merupakan profesi luhur yang di tuntut seperti itu; bekerja cepat, berusaha, setelah itu bersabar dan nrimo (dalam bahasa jawanya) terhadap semua hasil dari tindakan tersebut.


Bukan sekali dua kali, pelayanan kesehatan menjadi bahan pembicaraan orang ramai. Berbagai kasus terjadi, baik yang berakhir di pengadilan ataupun tidak. Dan semua kasus tersebut semakin menegaskan satu maksud: tenaga kesehatan di Aceh tidak becus dalam melaksanakan tugasnya. Mereka lalai dan tidak profesional. Padahal mereka di gaji untuk itu. Dan berbagai stigma negatif lainnya.

Saya kira, sebagai seorang tenaga kesehatan yang diajarkan bertahun-untuk untuk mencintai profesi, sudah menjadi kewajiban saya untuk memberikan sedikit pemahaman kepada masyarakat terhadap berbagai kasus yang terjadi selama ini. Hal ini bukan sebagai justifikasi atau pun pembenaran terhadap berbagai keluhan dan complain yang dialamatkan kepada tenaga kesehatan selama ini, tetapi hanya sebagai pembanding saja dalam menumbuhkan opini publik yang sehat. Bukankah setiap opini harus ada pembandingnya? Apalagi media massa, yang bertanggung jawab terhadap pembentukan opini publik, seharusnya menerima opini dari dua arah sehingga terjadi balancing dalam pemberitaan dan pembentukan opini masyarakat.

Ada beberapa hal yang menurut hemat saya perlu dijelaskan terlebih dahulu sebelum kita menarik kesimpulan apakah tenaga kesehatan yang diberitakan selama ini bersalah atau tidak. Karena kita tidak berada dalam posisi hakim yang bertindak sebagai pembuat vonis, maka kami hanya ingin memberi sedikit informasi sedikit perpektif medis. Selama ini kita (baca: masyarakat awam) selalu melihat malpraktek dari perpektif ‘hasil‘. Hasil buruk sama dengan malpraktek. Pasien meninggal karena tindakan medis berarti malpraktek. Pasien cacat karena perlakuan medis berarti malpraktek. Jadi semua hasil buruk dari tindakan medis merupakan malpraktek dalam istilah orang awam. Kita tidak pernah mau tahu bagaimana proses yang terjadi sebelumnya. Kita langsung memvonis kalau hasil dari suatu tindakan itu buruk pastilah sudah terjadi malpraktek. Ini yang kerap terjadi dalam masyarakat. Sebagian malah langsung berteriak: “Tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek! Mereka tidak profesional“.

Apakah hal seperti ini benar? Kemarin diberitakan seorang laki-laki meninggal karena terlambat mendapat pertolongan medis dari dokter dan paramedis di sebuah rumah sakit. Dalam berita tersebut disebutkan pasien sangat membutuhkan oksigen karena pasien mengeluhkan sesak. Terlambat? Apa sebenarnya definisi terlambat? Apakah definisi terlambat dalam perpektif pasien/keluarganya sama dengan definisi terlambat pada pandangan tenaga medis? Pasien selalu mendefinisikan ‘terlambat‘ dengan perpektif yang berbeda. Kesalahan perpektif kata ‘terlambat‘ juga di terjadi di tempat lain, di Instalasi Gawat darurat (IGD) misalnya. Dokter IGD selalu disalahkan karena tidak memperdulikan pasien dan selalu ‘terlambat‘ menangani pasien. Padahal faktanya, dokter IGD sudah melakukan proses triase dan pengelompokan terhadap pasien yang masuk ke IGD, mana pasien yang harus didahulukan dan mana yang tidak. Mereka sudah melakukannya sesuai dengan prosedur dan standard pelayanan rumah sakit. Hal ini terjadi karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang ada di Aceh. Rasio tenaga kesehatan-pasien yang rendah menyebabkan tenaga kesehatan kewalahan dalam menangani pasien. Di semua rumah sakit di sini kendalanya seperti itu. Selain kendala sumber daya, kendala lainnya adalah sumber dana. Kita bisa melihat berapa besaran dana yang dikucurkan untuk pengembangan sumber daya manusia kesehatan. Hal ini tidak terjadi jika rumah sakit tersebut memiliki sumber daya manusia dan sumber dana yang memadai seperti di negara-negara maju. Oleh karena itu, akan menjadi ironi ketika kita melihat keluarga pasien memarahi tenaga kesehatan bahkan tega sampai memaki mereka. Hal ini merupakan pengalaman sehari-hari yang dihadapi oleh rekan-rekan tenaga medis di lapangan. Seharusnya kita sadar, setiap tenaga kesehatan memiliki hati dan perasaan seperti manusia lainnya. Mereka bekerja keras untuk kemanusiaan walau dengan fasilitas seadanya. Didalam keterbatasan mereka harus bekerja maksimal.

Kita sering juga membandingkan kualitas pelayanan kesehatan di Aceh dengan di negara luar seperti Malaysia. Kami kira itu tidak salah untuk pengembangan kualitas kesehatan kita. Tapi alangkah naifnya kalau kita hanya membandingkan sisi kualitas saja tanpa mengetahui latar belakang di balik kualitas tersebut. Kita tidak pernah terpikir, bagaimana alat-alat kesehatan yang dimiliki oleh negara tersebut. Apakah kita tahu bagaimana kepedulian pemerintah dan parlemen terhadap kesehatan di sana? Serta salah satu faktor penting lainnya apakah kita tahu bagaimana perbandingan pendapatan yang diperoleh tenaga kesehatan di sana dengan yang diperoleh di sini. Jujur saja, hal ini juga ikut mempengaruhi kinerja dan etos kerja dari tenaga kesehatan itu sendiri. Bagaimana perbandingan jumlah tenaga kesehatan dan pasien serta bagaimana tingkat kerja rumah sakit di sana dibandingkan dengan rumah sakit di sini. Ini seharusnya juga menjadi indikator kita dalam membadingkan sesuatu. Kita selalu membandingkan sesuatu yang hanya menguntungkan diri kita saja tanpa memahami bagaimana seluruh sistem itu bekerja.

Pengalaman kami mengunjungi beberapa rumah sakit di Malaysia, memang sangat lebih bagus daripada di daerah kita. Mereka telah memiliki sistem yang sudah sangat bagus, semua pranata yang ada telah menjalankan sistem tersebut sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Tenaga kesehatan di sana hanya memikirkan bagaimana mengobati dan merawat pasien tanpa harus memikirkan fasilitas yang akan diperolehnya. Kalau kita membandingkan gaji, maka sungguh tidak etis. Karena nanti timbul opini di masyarakat, “tenaga kesehatan kan di sumpah untuk mengabdi demi kemanusiaan? Seharusnya mereka menyediakan waktu 24 jam untuk melayani masyarakat!”. Saya kira itu pernyataan yang tidak manusiawi juga. Tenaga kesehatan adalah manusia biasa. Disamping mereka telah di sumpah untuk mengabdikan ilmunya kepada kepentingan kemanusiaan, mereka juga memerlukan kebutuhan lain layaknya manusia biasa. Mungkin masyarakat tidak pernah tahu berapa insentivf yang diberikan kepada dokter sekali jaga malam di IGD? Seandainya masyarakat tahu, saya yakin pasien/keluarganya akan iba melihat tenaga kesehatan yang menagani pasien. Dan ini di alami oleh rekan-rekan kami yang bertugas di lapangan. Dan hal ini menjadi indikator betapa fasilitas yang diberikan kepada tenaga kesehatan kita belum maksimal. Menjadi tenaga kesehatan di Indonesia memang tidak gampang.

Kembali ke masalah malpraktek tadi. Ada beberapa catatan penting yang harus di ketahui oleh masyarakat mengenai hal ini. Pengetahuan masyarakat yang sudah semakin tinggi malah menyebabkan semakin tinggi terjadi kekeliruan dalam memahami malpraktek itu sendiri. Selain selalu mengaitkan malpraktek dengan hasil buruk dari suatu tindakan medis, masyarakat umumnya sudah apriori terlebih dahulu terhadap tindakan medis sehingga kadang-kadang masyarakat tidak menjalankan semua nasehat dari tenaga kesehatan dengan sebaik-baiknya. Ketika kondisi pasien semakin buruk, maka tenaga kesehatan akan dipersalahkan dengan kondisi ini. Tapi saya kira disini juga terdapat kesalahan tenaga kesehatan juga yang tidak menjelaskan secara rinci terhadap segala tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien tersebut.

Dalam kedokteran khususnya dalam Undang Undang Praktek Kedokteran, undang-undang baru yang mengatur pelaksanaan praktek kedokteran di Indonesia, terdapat dua jenis pelanggaran, yaitu pelanggaran Etika dan pelanggaran Hukum. Pelanggaran etika akan di selesaikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) Indonesia dan kalau kesalahan tersebut terbukti merupakan kesalahan hukum baik pidana maupun perdata, maka kasus tersebut baru dilimpahkan kepada pihak pegadilan. Jadi seharusnya masyarakat menempuh jalur ini terlebih dahulu sebelum melaporkan kepada pihak kepolisian. Sekarang aturannya menjadi terbalik. Masyarakat langsung melaporkan kepada polisi dan kemudian sampai ke pengadilan. Baru setelah itu pengadilan memanggil saksi ahli dari ikatan Dokter Indonesia (IDI) dimana MKEK terdapat didalamnya untuk memberikan keterangan ahli. Berapa dana, tenaga yang telah dihabiskan untuk ini. Kasus yang terbaru malah lebih ironi lagi. Polisi langsung menahan tenaga kesehatan yang diduga (digarisbawahi: di duga) melakukan malpraktek. Padahal tidak ada laporan dari keluarga pasien terhadap kasus tersebut. Saya kira mengenai malpraktek ini sudah selayaknya pihak tenaga kesehatan, rumah sakit, pihak aparat hukum bahu membahu untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada masyarakat sehingga kesalahan penafsiran selama ini bisa diminimalisir.

Satu hal lagi yang bagi kami menarik untuk di cermati adalah adanya stereotip negatif terhadap kualitas tenaga kesehatan kita. Kita selalu mencap tenaga kesehatan kita tidak profesional dan berilmu baik. Sebagian dari kita malah terang-terangan menyebutkan faktor ‘humam error‘ lah yang menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus kesehatan yang sering dimuat di media massa selama ini. Dalam artian mereka ingin mengatakan, tenaga kesehatan di Aceh bodoh dan tidak pernah belajar. Kami rasa pandangan seperti itu tidak benar. Perkembangan ilmu kedokteran selama ini menuntut tenaga kesehatan untuk selalu belajar. Ilmu kedokteran bisa diperoleh dimana-mana; surat kabar, majalah, seminar, journal bahkan di internet disediakan bermacam-macam ilmu kedokteran yang kita perlukan.

Tanpa belajar, tenaga kesehatan paham betul mereka akan di tinggalkan oleh kliennya. Karena sekarang ini arah pelayanan kesehatan adalah perubahan hubungan dari tenaga kesehatan-pasien menjadi tenaga kesehatan-klien. Jadi tenaga kesehatan telah menjadi penyedia layanan kesehatan (provider) dan pasien menjadi klien/pengguna (user). Jadi hal ini membuat tenaga kesehatan selalu berkeinginan untuk mengembangkan ilmunya untuk kepentingan dirinya dan masyarakat dimana dia berkarya.

Note; Tulisan ini di muat pada rubrik Opini Harian Aceh, edisi 21 Maret 2009

1 komentar: