Mahasiswa Program Beasiswa Jerman Pemda Aceh Angkatan Perdana, bersama Konsul RI Hamburg dan istri (foto: D. Fitri) |
Tiga tahun lalu di sebuah pertemuan wilayah penerima beasiswa yang
diadakan oleh badan pertukaran Jerman (Deutscher Akademischer Austauschdienst, DAAD),
tampak hadir para calon mahasiswa dari berbagai negara di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Dari Indonesia, tampak belasan mahasiswa calon master dan
doktor yang mayoritas berasal dari universitas ternama di pulau Jawa, hanya
satu dua yang berasal dari Sumatera. Untuk memudahkan berdiskusi mengenai
permasalahan menyangkut beasiswa, panitia membagi penerima beasiswa ini
berdasarkan negara asal mereka.
Menariknya, penerima beasiswa asal Aceh yang jumlahnya kira-kira menyamai jumlah
penerima beasiswa asal Indonesia, ditempatkan dalam kelompok terpisah dengan penerima
asal Indonesia lainnya. Hal ini membuat salah seorang mahasiswa dari Indonesia spontan
menyelutuk, “Aceh sepertinya sudah merdeka, posisinya sama seperti sebuah
negara di Asia Tenggara“. Iya.
Aceh, sebuah provinsi kecil di ujung pulau Sumatera yang penduduknya hanya 2%
dari total penduduk Indonesia yang kualitas pendidikannya tahun lalu berada pada posisi 16 dari 34 provinsi di Indonesia, mampu mengirimkan mahasiswa strata 2 dan 3 melalui sebuah badan Jerman, yang
setara dengan jumlah mahasiswa sebuah negara sebesar Indonesia, ke sebuah
negara dengan pendidikan terbaik diakui dunia: Jerman.
Tahun demi tahun berganti. Puluhan mahasiswa secara berkelanjutan dikirimkan ke Jerman oleh Pemerintah Aceh bekerja sama dengan lembaga pendidikan resmi milik pemerintah Jerman, DAAD, lembaga yang sudah lebih dari 60 tahun berpengalaman mendatangkan ratusan mahasiswa asing dari seluruh dunia ke Jerman, dan mengirimkan ratusan lainnya mahasiswa Jerman ke seluruh dunia. Lembaga ini juga dikenal dengan reputasi terbaik dan memiliki dana triliunan rupiah per tahunnya, sehingga tak salah kalau DAAD menjadi salah satu lembaga terbaik yang mengurusi masalah pertukaran pendidikan di dunia.
Menjadi menarik dicatat juga bahwa, baru kali ini lembaga sekelas DAAD bekerjasama dengan sebuah provinsi kecil, yang track record dalam dunia pendidikan termasuk yang paling bawah, bahkan di Indonesia, yang universitas terbaik yang ada di provinsi ini bahkan tidak di kenal di Indonesia, apalagi di luar negeri. Memang, bencana tsunami telah membantu kita mengenalkan Aceh kepada dunia internasional. Tsunami ini pula yang membuat bangsa-bangsa di dunia termasuk Jerman berbelas kasihan kepada kita, sehingga mengizinkan putra putri terbaik Aceh melanjutkan pendidikan di negara mereka.
Saat ini, setelah 4 tahun program Beasiswa Pemerintah Aceh bekerjasama dengan DAAD yang lebih dikenal dengan Aceh Scholarship for Excellence (ASFE) atau Beasiswa Aceh untuk Terbaik ini berjalan, Aceh telah mengirimkan lebih dari seratus mahasiswa yang mengambil program master dan doktor ke se antero Jerman, dari barat hingga timur, utara sampai selatan. Sebagian dari mereka sudah berhasil menggondol gelar master dan doktor dan kini sedang mengabdikan ilmunya untuk kemajuan Aceh. Sebagian lainnya sedang dalam proses merampungkan studinya, dan bersiap untuk terjun ke medan ’perang’ dalam misi mulia mengembalikan kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda sebagai sebuah bangsa yang sejahtera, baik fisik maupun mental. Sebuah misi mulia yang sangat ditunggu-tungu oleh jutaan masyarakat Aceh yang kini masih terpuruk dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Puluhan anak bangsa lainnya kini sedang menanti masa untuk ‘diterbangkan’ ke seluruh dunia, merengguk ilmu pengetahuan dan teknologi untuk diajarkan kepada seluruh masyarakat Aceh.
Tidak ada sedetikpun waktu yang dipunyai oleh mahasiswa Aceh yang ada di luar negeri, kecuali untuk memikirkan bangsa dan rakyat Aceh. Berbagai usaha dan daya mereka lakukan berbuat untuk daerah tercinta termasuk memperkenalkan Aceh di mata internasional. Tsunami memang telah membuat kita mahsyur se antero dunia, tapi itu saja tidak cukup. Setelah lebih dari se windu tsunami menerjang Aceh, dunia sedikit demi sedikit mulai melupakan kita. Yang ada hanya pencitraan negatif atas policy-policy yang berkaitan dengan penegakan syariat Islam di Aceh dan ini merupakan santapan lezat bagi media barat yang apriori terhadap sesuatu yang berbau Islam. Selebihnya, tidak ada yang dapat kita banggakan.
Mahasiswa yang dibiayai dengan keringat dan darah rakyat Aceh, paham betul bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk tanoh ie nya, walau itu sangat kecil artinya. Banyak penampilan seni yang ditampilkan oleh mahasiswa Aceh di sini yang bertujuan untuk memperkenalkan sisi positif Aceh di dunia internasional. Penampilan tari yang diorganisir oleh Ikatan Mahasiswa Aceh di Jerman (IMAN) ini mendapat apresiasi positif dari masyarakat Eropa, juga masyarakat Indonesia. Selain itu, mahasiswa juga tidak pernah tutup mata atas penderitaan yang dialami masyarakat atas musibah yang menimpa mereka. Bencana Tangse setahun lalu menyadarkan mereka untuk menyisihkan sedikit dari uang beasiswa yang mereka terima, untuk disumbangkan kepada rakyat. Sekali lagi, sumbangsih ini sangat kecil artinya dibandingkan kesempatan yang diberikan rakyat Aceh kepada kami untuk menimba ilmu di negara ini.
Saya kira hal ini juga dilakukan oleh mahasiswa Aceh lainnya yang berada di seluruh dunia; Malaysia, Taiwan, Inggris, Australia, Amerika Serikat, Thailand, dan negara-negara lainnya. Ini bukan sebagai suatu kebanggan, tapi memang seuatu keharusan bagi mahasiswa yang mendapatkan uang dari jerih payah rakyat Aceh, yang seharusnya dengan uang tersebut bisa membuat puluhan rumah bagi dhuafa yang ada di Aceh, walau dana itu juga mungkin hanya beberapa persen saja dari anggaran yang dikeluarkan pimpinan daerah untuk kebutuhan rutinnya.
Keputusan tidak populer itu akhirnya datang juga
Hingga akhirnya sebuah pengumuman penting dari pemerintah datang beberapa
hari lalu yang mengisyaratkan untuk memberhentikan sejenak program beasiswa
Aceh, baik dalam dan luar negeri yang di kelola oleh LPSDM, sambil memperbaiki
celah-celah yang ada dalam pelaksanaannya. Keputusan yang diambil oleh
eksekutif dan legislatif ini memang memiliki dasar-dasar yang jelas dan mungkin
bisa kita terima. Tetapi ada beberapa hal yang perlu dipikirkan mengenai dampak
yang akan terjadi, terutama mengenai pengiriman mahasiswa ke luar negeri.
Salah satu dampak negatif yang bisa terjadi adalah berkurangnya kepercayaan negara-negara yang selama ini bekerjasama dengan Aceh dalam hal pengiriman mahasiswa ke luar negeri, seperti Jerman, Taiwan, Australia, dan beberapa negara lainnya. Sebagai contoh adalah negara Jerman yang diwakili oleh badan resminya, DAAD. Sebagai penerima beasiswa dari pemerintah Aceh yang dananya dikelola oleh DAAD, saya memahami betul bagaimana profesionalitas lembaga ini dalam mengelola uang rakyat Aceh. Secara rutin setiap akhir bulan, kami mendapatkan beasiswa yang jumlahnya cukup untuk kebutuhan hidup selama satu bulan ditambah dengan untuk keperluan pendidikan. Masalah-masalah menyangkut pendidikan dan kehidupan di negara ini, juga sangat diperhatikan oleh lembaga ini. Mereka secara rutin pertahun meminta laporan studi dan perkembangan pendidikan, serta menghubungi pihak kampus jika diperlukan. Mereka juga membantu setiap keperluan kita yang menyangkut kehidupan sosial termasuk izin tinggal di negara yang proses imigrasinya sangat ketat ini.
Kita khawatir, dengan ditangguhkan beasiswa ini bagi calon penerima tahun-tahun mendatang, akan menyulitkan pemerintah nantinya dalam hal negosiasi, baik yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan dengan lembaga-lembaga ini. Hal ini malah menjadi kontra produktif dengan visi dan misi pemerintah yang baru dibawah kepemimpinan Doto Zaini dan Muallem untuk meningkatkan mutu pendidikan Aceh.
Selain itu, masalah yang ditakutkan oleh mahasiswa Aceh yang saat ini
sedang menempuh studi di luar negeri adalah menurunnya semangat pelajar Aceh
yang kini sedang menempuh pendidikan di tingkat SMP, SMA maupun universitas
untuk mempelajari bahasa asing. Bahasa Inggris, Arab, Jerman dan Mandarin
adalah bahasa-bahasa yang saat ini sedang digandrungi oleh masyarakat Aceh.
Karena mereka tahu bahwa salah satu syarat untuk mendapatkan beasiswa adalah
kemampaun dalam menguasai salah satu bahasa asing tersebut. Mereka juga tahu
dari berbagai artikel bertemakan luar negeri yang mereka baca selama ini,
termasuk kolom citizen reporter dari media ini, ditulis oleh mahasiswa yang
mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Aceh.
Selain itu, efek domino dari penghentian sementara program ini adalah kekhawatiran para mahasiswa yang saat ini sedang dan akan belajar di luar negeri, terutama yang sudah lulus seleksi yang siap diberangkatkan tahun ini. Walaupun pemerintah sudah menjamin bahwa tidak ada penghentian penyaluran beasiswa kepada mahasiswa aktif yang saat ini sedang menyelesaikan studi, tetapi tidak menutup kemungkinan penyaluran beasiswa ini akan terhambat, dan ini akan berakibat negatif bagi pendidikan mahasiswa tersebut, dan kepercayaan dari universitas tempat mahasiswa ini menempuh pendidikan. Tentu hal ini tidak kita inginkan terjadi pada mahasiswa asal Aceh. Begitu juga dengan calon mahasiswa yang akan diberangkatkan tahun ini, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai nasib mereka.
Lebih lanjut, semua pihak memang mendukung upaya reformasi pengelolaan di Lembaga Peningkatan Sumber Daya Masyarakat (LPSDM) Aceh. Tapi semua pihak juga setuju bahwa reformasi dan transparanasi terutama menyangkut masalah keuangan hendaknya tidak menimbulkan efek negatif terhadap upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Aceh. Pendidikan adalah proses. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Efek dari pengiriman mahasiswa ke luar negeri akan dirasakan 5-10 tahun mendatang, bahkan dalam jangka panjang. Ini mungkin yang harus dimengerti oleh pembuat kebijakan mengenai pendidikan, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Kita belajar banyak dari pengalaman dari banyak negara, termasuk Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan berbagai negara lainnya, bagaimana mereka fokus dalam meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya dengan mengirimkan pemuda-pemuda terpilih untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Sebuah investasi yang sangat besar, dan dikritik keras di dalam negeri pada masanya. Tapi sekarang mereka sudah melihat hasil dengan kemajuan dan kesejahteraan yang dicapai negara-negara tersebut.
Aceh bisa mengambil pelajaran dari kisah sukses negara-negara tersebut.
Sekarang hanya diperlukan niat baik dari semua pihak untuk berpikir lebih
jernih dalam menyelesaikan masalah pendidikan, terutama menyangkut program
beasiswa ini. Jangan sampai satu kebijakan yang diambil berdasarkan like and dislike tanpa mengedepankan
rasionalitas, bisa menghancurkan program pendidikan yang mempunyai arah yang
jelas dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar