expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Januari 2012

Hari Raya Tanpa 'Timphan' di Jerman

Di muat pada rubrik Citizen reporter, Harian Serambi Indonesia, September 2011

Mahasiswa Aceh berhari raya di Jerman (zuhra sofyan)
Apalah arti hari raya tanpa timphan, ujar seorang teman kepada saya beberapa waktu lalu; ibarat kopi tanpa gula, hidup tanpa cita-cita. Begitulah kira-kira gambaran hari raya bagi masyarakat Aceh di Jerman. Kalau keinginan sudah tak terbendung lagi, timphan made in Germany bisa saja menjadi solusi, walau tidak se-orinsinil dan selezat jika dibuat di negara asalnya. Alasannya sangat logis, menggunakan alumunium foil sebagai pengganti daun pisang memang akan mengurangi rasa dan aromanya. Menemukan daun pisang muda juga bukan perkara mudah, selain susah didapat, harganya juga tidak terbilang murah. Wajar, barang import harganya selalu di atas rata-rata.
Hari Raya tahun ini dirasakan dan dirayakan oleh muslim di Jerman sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak seperti di negara kita, tidak terjadi perbedaan dalam penetapan 1 Syawal tahun ini di Jerman, dan seluruh negara di eropa.  Tanggal 1 Syawal telah ditetapkan beberapa minggu sebelum lebaran tiba dan kemudian di perkuat dengan fatwa ulama kira-kira beberapa hari sebelum hari raya, baru kemudian disiarkan melalui situs organisasi muslim serta melalui milis umat Islam se Jerman. Malam hari raya yang jika di negara kita biasanya diisi dengan pawai takbir, pembagian zakat fitrah di meunasah-meunasah, ibu-ibu yang sibuk dengan kegiatan rumah tangga, anak-anak yang bermain kembang api serta para pemuda dengan meriam bambunya, tidak akan pernah kita rasakan di negeri penghasil mobil mewah dunia ini. Yang ada hanyalah suara alunan takbir yang didengarkan dengan menggunakan fasilitas penggugah video maupun streaming lainnya di internet, tanpa pawai tentunya. Orang-orang hanya menghabiskan malam takbiran sendirian atau bersama keluarga di rumah.

Pagi hari suasananya juga tidak jauh berbeda dengan pagi-pagi di hari kerja lainnya. Situasi serupa seperti di tanah air tidak akan kita jumpai di negara pengkonsumsi bir terbesar di dunia ini.  Tidak ada orang yang berbondong-bondong menuju mesjid ataupun lapangan terdekat untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Tidak ada juga kita lihat anak-anak yang penuh dengan kegembiraan setelah orang tua membeli baju baru 2 hingga 3 pasang untuknya, walau para orang tua sendiri harus bekerja ekstra keras mengingat harga barang semakin naik dan penjual mengambil keuntungan lebih di hari raya. Tidak ada ziarah kubur, karena memang kuburan orang tua maupun sanak saudara kita jauh berada di sana. Yang ada hanya orang-orang yang selalu dikejar oleh waktu, bergegas, sibuk dengan segala aktivitasnya. Tidak ada kesan hari raya seperti layaknya perayaan Natal yang gegap gempita bahkan jauh-jauh hari sebelum hari tersebut tiba. Ya, inilah Jerman, negara maju nomor 3 di dunia dan paling kaya di benua biru, Eropa, yang berpenduduk muslim hanya 4% saja dari total 80 juta penduduknya. Tidak ada cuti bersama seperti yang dinikmati oleh pegawai kita, yang ada hanyalah libur satu hari atau bahkan libur beberapa jam saja dan itupun harus rela dipotong dengan cuti tahunan.

Shalat Iedul Fitri biasanya dilangsungkan di mesjid-mesjid; mesjid Turki dan Arab yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari di setiap kotanya. Masyarakat Indonesia biasanya menggunakan kantor kedutaan maupun konsulat untuk melaksanakan shalat ied tersebut. Bagi kota yang tidak memiliki gedung kedutaan maupun konsulat, shalat dilakukan di ruangan yang luas di universitas atau gedung milik pemerintah/swasta lainnya yang disewa khusus untuk melaksanakan ibadah sunah ini. Yang menarik adalah biasanya shalat ied diikuti dengan halal bi halal, serta jamuan makan. Masakan khas Indonesia semisal lontong, rendang, bolu, dan tentunya minus ketupat (karena bahan baku daun kelapa tidak akan kita jumpai disini) akan tersaji di hadapan kita. Selain itu masakan khas Jerman/barat seperti Doener Kebap, Salat, Berliner (kue khas Jerman) juga biasanya tersedia, dibawa oleh masyarakat Indonesia keturunan maupun yang telah menikah dengan orang Jerman.

Di kota Bonn yang merupakan bekas ibukota Jerman Barat, shalat Ied dilakukan di gedung eks kedutaan Indonesia yang tidak digunakan lagi kecuali untuk shalat ied saja. Gedung besar serta tidak berpenghuni ini memiliki aula yang luas dan sanggup menampung lebih dari tiga ratus jamaah. Tahun ini jamaah yang hadir lebih dari dua ratus orang dan mencatat rekor sebagai shalat Ied yang jamaahnya paling ramai di kota Bonn. Jamaah datang dari kota Bonn serta berbagai kota sekitar seperti Cologne, Duisburg bahkan muslim dari negara Asia dan Afrika lainnya seperti Pakistan dan India juga turut hadir di sana. Walau tidak mengerti materi khutbah yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, mereka terlihat senang dan ikut mencicipi menu masakan Indonesia yang menurut mereka sangat beragam disamping rasanya juga enak.

Setelah itu, perayaan lebaran tahun ini selesai. Acara kunjung-mengunjungi biasanya dilakukan terbatas. Orang-orang kembali ke rumah masing, menikmati makanan khas hari raya yang mungkin tersedia di rumah. Esoknya masyarakat muslim Jerman sama seperti masyarakat Jerman lainnya kembali disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Tidak ada cuti bersama maupun libur lebaran seperti yang didapatkan masyarakat Aceh di sana. Lebaran yang penuh dengan budaya salam-salaman, silaturahmi, saling memaafkan hanya dinikmati sebentar saja oleh muslim Jerman. Timphan, dodhoi, sagun, kue bawang, mie caluek, rujak Aceh, pistol-pistolan yang dijual di jalanan, emperan toko, kaki lima tidak akan kita dapatkan di sini. Rindu orang tua dan keluarga menyeruak di dalam dada, tapi apa hendak di kata, masa depan masih jauh di depan mata, susah senang kita lalui bersama, semuanya hanya untuk Aceh tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar