Seorang dokter anak di Jerman. (muhsin) |
“Apa yang bisa
saya bantu?“, tanya seorang perempuan pirang berjas putih panjang di depan saya dalam Bahasa Jerman yang normal, tidak terlalu cepat
maupun lambat. “Bisa Anda berbicara bahasa Inggris?”, tanya saya
dengan bahasa Jerman terbatas. “Ya, tentu. So,
apa keluhan Anda?“, ujarnya. Saya menceritakan dengan sistematis masalah
yang dialami istri saya termasuk mengenai kehamilannya yang memasuki
minggu-minggu awal. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan keluhan kami, lalu memeriksa
istri saya. Semua proses tersebut berlangsung lebih dari tiga puluh menit. Dokter
tersebut dengan sabar menjelaskan semua yang kami tanyakan.
Tidak ada kesan terburu-buru yang diperlihatkan dokter itu, walau ada beberapa pasien lainnya yang mengantri di belakang kami. Semua konsultasi berlangsung lama dan penuh keakraban, sesuatu yang sangat kita inginkan ketika kita mengharapkan bantuan seseorang untuk menyelesaikan masalah kesehatan kita. Jumlah pasien per hari yang dibatasi hanya beberapa orang saja membuat praktek kesehatan disini menjadi sesuatu yang menyenangkan, jauh dari kesan mengejar setoran.
Kali lainnya,
saya juga memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap pelayanan
kesehatan di sini. Setelah anak pertama kami lahir dengan proses operasi, pihak
rumah sakit mempuasakan putri kami sambil menunggu air susu ibu keluar, paling
tidak dalam 24 jam pertama pasca kelahiran. Ketika anak saya menangis karena kehausan, saya sempat
meminta agar pihak rumah sakit menyediakan susu formula atau air gula untuk
mengurangi penderitaan anak kami. Tetapi mereka tetap bersikukuh dengan
peraturan. Keesokan harinya anak saya mengalami kejang dan terpaksa dirawat di
ruang intensif selama lebih kurang dua minggu. Walau semua pemeriksaan canggih
telah dilakukan termasuk pemeriksaan genetik, dokter tidak mendapatkan penyebab
kejang pada anak kami selain karena kekurangan gula darah akibat tidak
diberikan susu atau air gula. Saya sempat kesal dengan kejadian ini walau pihak
dokter menenangkan serta meminta agar tidak mempersalahkan dokter kandungan dan
dokter anak yang menangani anak saya sebelumnya.Tidak ada kesan terburu-buru yang diperlihatkan dokter itu, walau ada beberapa pasien lainnya yang mengantri di belakang kami. Semua konsultasi berlangsung lama dan penuh keakraban, sesuatu yang sangat kita inginkan ketika kita mengharapkan bantuan seseorang untuk menyelesaikan masalah kesehatan kita. Jumlah pasien per hari yang dibatasi hanya beberapa orang saja membuat praktek kesehatan disini menjadi sesuatu yang menyenangkan, jauh dari kesan mengejar setoran.
Begitulah
sekelumit pengalaman saya menyangkut pelayanan kesehatan di Jerman, negara yang
kita tahu menerapkan standard kesehatan tinggi di dunia. Walau harus
mengeluarkan uang lebih dari lima ratus ribu rupiah setiap bulannya untuk
asuransi istri saya, kami merasa puas terhadap pelayanan kesehatan di sini. Pengalaman
buruk yang saya ceritakan sebelumnya tidak menjadikan saya trauma dan membenci
dokter di sini tetapi membuat saya berpikir bahwa dokter adalah manusia dan
mereka bisa salah dalam setiap tindakannya, termasuk dokter Jerman sekalipun.
Bagaimana
dengan di daerah kita? Kalau hal tersebut kita tanyakan kepada masyarakat,
tentunya banyak yang mengeluh terhadap sistem kesehatan di Aceh, at least seperti apa yang kita simak di
media massa. Padahal kita tahu, Pemerintah Aceh telah mengelontorkan ratusan milyar
rupiah uang setiap tahunnya untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada
masyarakat. Toh, uang tersebut tidak berarti
banyak, terbukti dengan angka-angka statistik yang masih mencatat Aceh sebagai
daerah penyumbang pesakitan terbesar nasional, baik penyakit infeksi maupun non
infeksi. Secara kualitas juga tidak banyak berubah. Pemberitaan masalah kesehatan di koran-koran lokal
masih berkaitan dengan banyaknya keluhan masyarakat akan minimnya pelayanan
kesehatan terutama yang dikeluhkan oleh pengguna Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Suka tidak suka, walau harus rela berdesak-desakan di rumah sakit pemerintah,
mereka tetap saja menggunakan ‘tiket masuk’ yang disebut-sebut sebagai hasil
kebaikan hati sang Gubernur ini (berdasarkan klaim beberapa orang di media). Kadangkala
mereka harus mengantri berjam-jam hanya untuk sekedar
mendapatkan sepuluh tablet obat parasetamol yang harga dipasarannya tidak lebih 10 ribu rupiah saja. Masyarakat miskin di Aceh tidak punya alternatif
lain. Bagi sebagian orang yang mempunyai kelebihan
uang, bisa saja mengabiskan jutaan rupiah
setiap tahunnya hanya sekedar cek kesehatan (medical check up) di negara tetangga.
Banyaknya
keluhan hingga kasus kekerasan yang menimpa tenaga kesehatan seperti yang kita
baca di media akhir-akhir ini terjadi karena pemahaman negatif masyarakat
terhadap mereka. Masyarakat umum menyalahkan dokter dan paramedis yang
dianggap terlalu matrialistis dan hanya mengejar uang semata. Hal ini
memberikan streotip yang salah terhadap profesi kesehatan terutama dokter, yang
dianggap sebagai mesin ATM yang bukan memberikan ketenangan, malah mengambil
uang mereka secara perlahan-lahan. Selain itu masyarakat juga menganggap
petugas kesehatan sering tidak bertanggung jawab dan lalai dalam menangani
pasiennya. Gambaran ini diperparah oleh perilaku beberapa oknum tenaga
kesehatan itu sendiri yang mengambil celah di tengah kesempitan masyarakat serta
beberapa oknum media yang memberitakan sesuatu yang menyangkut dengan kesehatan
secara tidak berimbang dan cenderung tanpa azas praduga tak bersalah.
Media ikut
andil dalam memberikan streotip terhadap suatu profesi. Sebaliknya, perilaku negatif anggota profesi tersebut ikut juga menyumbangkan image yang salah terhadap profesi. Hal
ini menjadi sebuah lingkaran setan dalam pelayanan kesehatan; satu-dua kasus
oleh oknum digambarkan secara general oleh media, mengakibatkan pergeseran
opini masyarakat. Efeknya adalah menjadikan masyarakat apriori terhadap semua
tindakan kesehatan yang diambil, sehingga adanya hasil buruk akan tindakan
medis langsung di cap sebagai kasus kelalaian dan malpraktik. Padahal kita tahu
kriteria malpraktik itu sendiri sangat jelas dan hanya dipahami oleh ahli hukum
kesehatan. Adanya sikap apriori dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
institusi hukum yang dianggap melindungi petugas kesehatan juga menyebabkan
masyarakat mengambil kesimpulan sendiri terhadap kasus sejenis bahkan dengan tindak
kekerasan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Kasus kekerasan terhadap dokter
tidak bisa kita pisahkan dengan opini yang telah terbentuk dalam benak sang
pelaku bahwa dokter yang menanganinya tidak bertanggung jawab sehingga
menyebabkan kematian ibunya, dan memukul dokter atau paramedis akan memberikan
ketenangan baginya. Sungguh sebuah tindakan yang salah dan patut kita sesali.
Perilaku yang dilakukan oleh
oknum anggota profesi, baik itu polisi, dokter, wartawan maupun profesi lainnya
dalam ilmu sosiologi disebut dengan penyimpangan (deviasi). Wilnes dalam
bukunya Punishment and Reformation menyebutkan bahwa sebab-sebab
perilaku menyimpang dibagi menjadi dua; faktor subjektif (berasal dari
seseorang itu sendiri atau sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir), dan faktor
objektif (berasal dari luar atau lingkungan). Dia juga menyebutkan bahwa media
ikut memberi andil dalam faktor objektif dengan memberikan tayangan dan pemberitaan
yang tidak sesuai.
Mengaca pada kasus yang terjadi
akhir-akhir ini, kita tahu bahwa aparat keamanan dan petugas kesehatan adalah
dua instansi yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak bisa dipisahkan. Kedua
profesi ini bertujuan sama yaitu memberikan rasa aman. Aparat keamanan
memberikan rasa aman psikis dari ketakutan akan tindakan kejahatan, sedangkan petugas
kesehatan memberikan rasa aman terhadap fisik terhadap penyakit. Tetapi yang
terjadi malah sebaliknya, aparat keamanan menebarkan teror dan rasa tidak aman terhadap
petugas kesehatan, yang didasari oleh pandangan negatif bahwa tenaga kesehatan
tersebut telah memberikan rasa tidak aman kepadanya dengan tidak melakukan
tindakan kesehatan terhadap ibunya. Padahal sudah sewajarnya kedua profesi ini
bekerja sinergi dalam mengayomi masyarakat.
Paradigma
negatif terhadap dokter dan paramedis yang terdapat dalam masyarakat kita
seharusnya tidak dipelihara. Karena hubungan pasien (masyarakat) dengan dokter/paramedis
merupakan hubungan simbiosis mutualisme
(sama-sama menguntungkan), dimana pasien membutuhkan dokter sebagai jalan
kesembuhannya (tentunya atas kehendak Yang Mahakuasa) dan dokter juga
membutuhkan pasien untuk pengembangan ilmu serta sebagai mata pencahariannnya.
Dokter tidak mungkin bisa hidup
tanpa pasien dan pasien juga sangat membutuhkan dokter. Paradigma saling
membutuhkan ini seharusnya dijaga oleh semua kita, termasuk media. Karena
dengan adanya pola pikir yang khusnuzan dan rasional, insyaAllah semua masalah
kesehatan bisa diselesaikan dengan cara yang bijak. Walaupun kita tahu bahwa
penyelesaian konflik yang melibatkan hukum mutlak diperlukan jika tidak
didapatkan titik temu dalam mencari solusi.
Kita perlu
berpikir bijak dalam masalah kesehatan. Selain karena menyangkut nyawa manusia,
bisnis kesehatan juga merupakan bisnis besar yang melibatkan dana yang tidak
sedikit. Setiap tahun masyarakat Aceh menyumbang milyaran rupiah untuk kemajuan
negara tetangga, terutama Malaysia dalam sektor kesehatan. Hal ini berkebalikan
dengan ‘sumbangan’ yang diterima Aceh dari Malaysia dalam bentuk kunjungan
wisata yang hanya beberapa puluh atau ratus juta rupiah saja setiap tahunnya. Neraca
perdagangan minus bagi Aceh ini mempunyai pengertian bahwa Aceh ikut menyumbang
besar terhadap kemajuan Malaysia secara tidak kita sengaja. Kalkulasi matematis
sederhana bisa kita pahami sebagai berikut. Misalkan setiap penerbangan Air
Asia tujuan Kuala Lumpur dari Banda Aceh mengangkut 10 orang saja masyarakat
yang ingin berobat ke Malaysia, dan orang tersebut menghabiskan minimal 3 juta
rupiah untuk berobat (minus kebutuhan lainnya), maka dana yang masuk ke rumah
sakit Malaysia setiap minggunya adalah sekitar 120 juta rupiah karena maskapai
Air Asia menyediakan empat kali penerbangan setiap minggunya ke Banda Aceh.
Jadi bisa kita kalkulasikan berapa uang Aceh yang ‘terbang’ ke Malaysia setiap
bulan dan tahunnya, beberapa persen dari total APBA kita saat ini.
Oleh karena
itu diperlukan kearifan masyarakat dalam menghargai setiap profesi. Selain itu
diperlukan juga sikap yang profesional dari pihak aparat kesehatan untuk berani
merubah perilaku yang tidak baik yang terjadi selama ini. Adanya sikap saling
mengerti akan merubah hubungan pasien-dokter/paramedis menjadi lebih mesra sehingga
nantinya akan mengurangi pemberitaan yang tidak baik terhadap petugas kesehatan
serta akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pengobatan di luar
negeri. Hal ini tentunya akan menggairahkan bisnis kesehatan di Aceh,
meningkatkan serapan tenaga kerja baik di bidang kesehatan maupun non medis, dan
dalam gilirannya nanti akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar