expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 08 Januari 2012

Menuju Peningkatan Pelayanan Kesehatan di Aceh

(Dimuat di rubrik Opini Harian Serambi Indonesia, September 2011)

Seorang dokter anak di Jerman. (muhsin)
“Apa yang bisa saya bantu?“, tanya seorang perempuan pirang berjas putih panjang di depan saya dalam Bahasa Jerman yang normal, tidak terlalu cepat maupun lambat. “Bisa Anda berbicara bahasa Inggris?”, tanya saya dengan bahasa Jerman terbatas. “Ya, tentu. So, apa keluhan Anda?“, ujarnya. Saya menceritakan dengan sistematis masalah yang dialami istri saya termasuk mengenai kehamilannya yang memasuki minggu-minggu awal. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan keluhan kami, lalu memeriksa istri saya. Semua proses tersebut berlangsung lebih dari tiga puluh menit. Dokter tersebut dengan sabar menjelaskan semua yang kami tanyakan.
Tidak ada kesan terburu-buru yang diperlihatkan dokter itu, walau ada beberapa pasien lainnya yang mengantri di belakang kami. Semua konsultasi berlangsung lama dan penuh keakraban, sesuatu yang sangat kita inginkan ketika kita mengharapkan bantuan seseorang untuk menyelesaikan masalah kesehatan kita. Jumlah pasien per hari yang dibatasi hanya beberapa orang saja membuat praktek kesehatan disini menjadi sesuatu yang menyenangkan, jauh dari kesan mengejar setoran.
Kali lainnya, saya juga memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap pelayanan kesehatan di sini. Setelah anak pertama kami lahir dengan proses operasi, pihak rumah sakit mempuasakan putri kami sambil menunggu air susu ibu keluar, paling tidak dalam 24 jam pertama pasca kelahiran. Ketika anak saya menangis karena kehausan, saya sempat meminta agar pihak rumah sakit menyediakan susu formula atau air gula untuk mengurangi penderitaan anak kami. Tetapi mereka tetap bersikukuh dengan peraturan. Keesokan harinya anak saya mengalami kejang dan terpaksa dirawat di ruang intensif selama lebih kurang dua minggu. Walau semua pemeriksaan canggih telah dilakukan termasuk pemeriksaan genetik, dokter tidak mendapatkan penyebab kejang pada anak kami selain karena kekurangan gula darah akibat tidak diberikan susu atau air gula. Saya sempat kesal dengan kejadian ini walau pihak dokter menenangkan serta meminta agar tidak mempersalahkan dokter kandungan dan dokter anak yang menangani anak saya sebelumnya.

Begitulah sekelumit pengalaman saya menyangkut pelayanan kesehatan di Jerman, negara yang kita tahu menerapkan standard kesehatan tinggi di dunia. Walau harus mengeluarkan uang lebih dari lima ratus ribu rupiah setiap bulannya untuk asuransi istri saya, kami merasa puas terhadap pelayanan kesehatan di sini. Pengalaman buruk yang saya ceritakan sebelumnya tidak menjadikan saya trauma dan membenci dokter di sini tetapi membuat saya berpikir bahwa dokter adalah manusia dan mereka bisa salah dalam setiap tindakannya, termasuk dokter Jerman sekalipun.

Bagaimana dengan di daerah kita? Kalau hal tersebut kita tanyakan kepada masyarakat, tentunya banyak yang mengeluh terhadap sistem kesehatan di Aceh, at least seperti apa yang kita simak di media massa. Padahal kita tahu, Pemerintah Aceh telah mengelontorkan ratusan milyar rupiah uang setiap tahunnya untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat. Toh, uang tersebut tidak berarti banyak, terbukti dengan angka-angka statistik yang masih mencatat Aceh sebagai daerah penyumbang pesakitan terbesar nasional, baik penyakit infeksi maupun non infeksi. Secara kualitas juga tidak banyak berubah. Pemberitaan masalah kesehatan di koran-koran lokal masih berkaitan dengan banyaknya keluhan masyarakat akan minimnya pelayanan kesehatan terutama yang dikeluhkan oleh pengguna Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Suka tidak suka, walau harus rela berdesak-desakan di rumah sakit pemerintah, mereka tetap saja menggunakan ‘tiket masuk’ yang disebut-sebut sebagai hasil kebaikan hati sang Gubernur ini (berdasarkan klaim beberapa orang di media). Kadangkala mereka harus mengantri berjam-jam hanya untuk sekedar mendapatkan sepuluh tablet obat parasetamol yang harga dipasarannya tidak lebih 10 ribu rupiah saja. Masyarakat miskin di Aceh tidak punya alternatif lain. Bagi sebagian orang yang mempunyai kelebihan uang, bisa saja mengabiskan jutaan rupiah setiap tahunnya hanya sekedar cek kesehatan (medical check up) di negara tetangga.  

Banyaknya keluhan hingga kasus kekerasan yang menimpa tenaga kesehatan seperti yang kita baca di media akhir-akhir ini terjadi karena pemahaman negatif masyarakat terhadap mereka. Masyarakat umum menyalahkan dokter dan paramedis yang dianggap terlalu matrialistis dan hanya mengejar uang semata. Hal ini memberikan streotip yang salah terhadap profesi kesehatan terutama dokter, yang dianggap sebagai mesin ATM yang bukan memberikan ketenangan, malah mengambil uang mereka secara perlahan-lahan. Selain itu masyarakat juga menganggap petugas kesehatan sering tidak bertanggung jawab dan lalai dalam menangani pasiennya. Gambaran ini diperparah oleh perilaku beberapa oknum tenaga kesehatan itu sendiri yang mengambil celah di tengah kesempitan masyarakat serta beberapa oknum media yang memberitakan sesuatu yang menyangkut dengan kesehatan secara tidak berimbang dan cenderung tanpa azas praduga tak bersalah.

Media ikut andil dalam memberikan streotip terhadap suatu profesi. Sebaliknya, perilaku negatif anggota profesi tersebut ikut juga menyumbangkan image yang salah terhadap profesi. Hal ini menjadi sebuah lingkaran setan dalam pelayanan kesehatan; satu-dua kasus oleh oknum digambarkan secara general oleh media, mengakibatkan pergeseran opini masyarakat. Efeknya adalah menjadikan masyarakat apriori terhadap semua tindakan kesehatan yang diambil, sehingga adanya hasil buruk akan tindakan medis langsung di cap sebagai kasus kelalaian dan malpraktik. Padahal kita tahu kriteria malpraktik itu sendiri sangat jelas dan hanya dipahami oleh ahli hukum kesehatan. Adanya sikap apriori dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum yang dianggap melindungi petugas kesehatan juga menyebabkan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri terhadap kasus sejenis bahkan dengan tindak kekerasan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Kasus kekerasan terhadap dokter tidak bisa kita pisahkan dengan opini yang telah terbentuk dalam benak sang pelaku bahwa dokter yang menanganinya tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan kematian ibunya, dan memukul dokter atau paramedis akan memberikan ketenangan baginya. Sungguh sebuah tindakan yang salah dan patut kita sesali.

Perilaku yang dilakukan oleh oknum anggota profesi, baik itu polisi, dokter, wartawan maupun profesi lainnya dalam ilmu sosiologi disebut dengan penyimpangan (deviasi). Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation menyebutkan bahwa sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua; faktor subjektif (berasal dari seseorang itu sendiri atau sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir), dan faktor objektif (berasal dari luar atau lingkungan). Dia juga menyebutkan bahwa media ikut memberi andil dalam faktor objektif dengan memberikan tayangan dan pemberitaan yang tidak sesuai.

Mengaca pada kasus yang terjadi akhir-akhir ini, kita tahu bahwa aparat keamanan dan petugas kesehatan adalah dua instansi yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak bisa dipisahkan. Kedua profesi ini bertujuan sama yaitu memberikan rasa aman. Aparat keamanan memberikan rasa aman psikis dari ketakutan akan tindakan kejahatan, sedangkan petugas kesehatan memberikan rasa aman terhadap fisik terhadap penyakit. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, aparat keamanan menebarkan teror dan rasa tidak aman terhadap petugas kesehatan, yang didasari oleh pandangan negatif bahwa tenaga kesehatan tersebut telah memberikan rasa tidak aman kepadanya dengan tidak melakukan tindakan kesehatan terhadap ibunya. Padahal sudah sewajarnya kedua profesi ini bekerja sinergi dalam mengayomi masyarakat.

Paradigma negatif terhadap dokter dan paramedis yang terdapat dalam masyarakat kita seharusnya tidak dipelihara. Karena hubungan pasien (masyarakat) dengan dokter/paramedis merupakan hubungan simbiosis mutualisme (sama-sama menguntungkan), dimana pasien membutuhkan dokter sebagai jalan kesembuhannya (tentunya atas kehendak Yang Mahakuasa) dan dokter juga membutuhkan pasien untuk pengembangan ilmu serta sebagai mata pencahariannnya. Dokter tidak mungkin bisa hidup tanpa pasien dan pasien juga sangat membutuhkan dokter. Paradigma saling membutuhkan ini seharusnya dijaga oleh semua kita, termasuk media. Karena dengan adanya pola pikir yang khusnuzan dan rasional, insyaAllah semua masalah kesehatan bisa diselesaikan dengan cara yang bijak. Walaupun kita tahu bahwa penyelesaian konflik yang melibatkan hukum mutlak diperlukan jika tidak didapatkan titik temu dalam mencari solusi.

Kita perlu berpikir bijak dalam masalah kesehatan. Selain karena menyangkut nyawa manusia, bisnis kesehatan juga merupakan bisnis besar yang melibatkan dana yang tidak sedikit. Setiap tahun masyarakat Aceh menyumbang milyaran rupiah untuk kemajuan negara tetangga, terutama Malaysia dalam sektor kesehatan. Hal ini berkebalikan dengan ‘sumbangan’ yang diterima Aceh dari Malaysia dalam bentuk kunjungan wisata yang hanya beberapa puluh atau ratus juta rupiah saja setiap tahunnya. Neraca perdagangan minus bagi Aceh ini mempunyai pengertian bahwa Aceh ikut menyumbang besar terhadap kemajuan Malaysia secara tidak kita sengaja. Kalkulasi matematis sederhana bisa kita pahami sebagai berikut. Misalkan setiap penerbangan Air Asia tujuan Kuala Lumpur dari Banda Aceh mengangkut 10 orang saja masyarakat yang ingin berobat ke Malaysia, dan orang tersebut menghabiskan minimal 3 juta rupiah untuk berobat (minus kebutuhan lainnya), maka dana yang masuk ke rumah sakit Malaysia setiap minggunya adalah sekitar 120 juta rupiah karena maskapai Air Asia menyediakan empat kali penerbangan setiap minggunya ke Banda Aceh. Jadi bisa kita kalkulasikan berapa uang Aceh yang ‘terbang’ ke Malaysia setiap bulan dan tahunnya, beberapa persen dari total APBA kita saat ini.

Oleh karena itu diperlukan kearifan masyarakat dalam menghargai setiap profesi. Selain itu diperlukan juga sikap yang profesional dari pihak aparat kesehatan untuk berani merubah perilaku yang tidak baik yang terjadi selama ini. Adanya sikap saling mengerti akan merubah hubungan pasien-dokter/paramedis menjadi lebih mesra sehingga nantinya akan mengurangi pemberitaan yang tidak baik terhadap petugas kesehatan serta akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pengobatan di luar negeri. Hal ini tentunya akan menggairahkan bisnis kesehatan di Aceh, meningkatkan serapan tenaga kerja baik di bidang kesehatan maupun non medis, dan dalam gilirannya nanti akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar