expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 10 Februari 2013

Ikan Kayu ala Mahasiswa Aceh di Jerman

mie aceh ´made in germany´ (muhsin)
Ada yang menarik dari pertemuan mahasiswa Aceh se negara bagian North Rhein Westphalia (NRW) Jerman yang berlangsung di kota Duisburg akhir pekan lalu. Hampir semua mahasiswa Aceh yang sedang menempuh pendidikan di negara bagian dengan populasi paling padat di Jerman itu hadir pada pertemuan tersebut.

Selain itu, pertemuan itu menjadi istimewa karena menghadirkan beragam makanan khas Aceh; dari ‘asam keumamah‘ yang dibuat menggunakan asam sunti (asam kandis) terbaik dipasok langsung dari pedalaman Pidie, spaghetti rasa ‘mie caluek‘ hingga kopi ulee kareng asli dari tokonya di gampong Ulee Kareng Banda Aceh. Hadirnya masakan Aceh ala mahasiswa Jerman ini, ditambah dengan hujan salju yang turun perlahan di siang itu menambah kerinduan mereka terhadap tanah endatu yang mungkin sudah lama ditinggalkan.
Pertemuan ini seyogyanya membicarakan rencana kegiatan silaturrahmi akbar mahasiswa Aceh se Jerman yang akan dilangsungkan di kota Duisburg pada akhir Maret atau awal April mendatang. NRW dipilih menjadi tempat berlangsungnya rapat besar ini mengingat banyaknya mahasiswa Aceh yang sedang belajar berbagai bidang ilmu di negara bagian yang dilalui indahnya sungai Rhein, sebagai sungai utama dan terpanjang di Eropa. Kota Duisburg dinilai tepat mengingat letaknya yang cukup strategis di tengah-tengah negara bagian NRW sehingga relatif mudah dijangkau mahasiswa yang berasal dari berbagai kota lainnya di Jerman. Selain untuk mengumpulkan puluhan mahasiswa asal Aceh di Jerman, pertemuan tersebut juga rencanannya akan memilih ketua Ikatan Mahasiswa Aceh Jerman (IMAN) yang berakhir kepengurusannya akhir Maret nanti.

Saat ini terdapat lebih dari seratus mahasiswa asal Aceh yang belajar di Jerman. Mereka tersebar hampir di seluruh kota di negara yang pada tahun lalu tercatat sebagai negara pengekspor barang jadi tertinggi di dunia ini. Sebagian besar dari mereka mendapatkan beasiswa, baik itu dari Pemerintah Aceh yang bekerjasama dengan lembaga pendidikan Jerman Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD) maupun beasiswa dari sumber lain. Selebihnya adalah mereka yang membiayai sendiri kuliah dengan bekerja paruh waktu maksimal 20 jam per minggu yang memang diperbolehkan bagi mahasiswa asing. Kelompok terakhir adalah mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari ‘yayasan ayah bunda‘ alias dibiayai oleh orang tuanya. Mahasiswa seperti ini jarang dijumpai mengingat biaya hidup di Jerman yang termasuk tinggi walau termasuk paling murah bila dibandingkan negara Eropa lainnya.

Kerjasama Pemda Aceh dengan DAAD seperti yang saya sebutkan sebelumnya disebut-sebut sebagai program fenomenal dan pertama dilakukan oleh lembaga sekelas DAAD yang sudah lebih puluhan tahun memberikan beasiswa kepada mahasiswa asing kuliah di Jerman. Sebelumnya lembaga milik pemerintah Jerman ini belum pernah bekerja sama dengan sebuah provinsi dalam hal pengiriman mahasiswa ke Jerman, tetapi hanya dengan dengan sebuah negara. Ada kejadian menarik ketika pertemuan penerima beasiswa DAAD dilangsungkan di kota Bonn pada tahun 2010 lalu. Pertemuan yang merupakan agenda tahunan tersebut diselenggarakan untuk memberikan pembekalan bagi mahasiswa baru penerima beasiswa DAAD yang berasal dari seluruh dunia. Karena jumlah mahasiswa asal Aceh yang mengikuti pertemuan tersebut lumayan banyak, DAAD menugaskan seorang staf khusus untuk memandu dan menjawab semua pertanyaan kami menyangkut berbagai masalah yang akan dihadapi, baik akademik maupun non akademik. Ketika diumumkan bahwa semua negara mendapatkan seorang pemandu dan Aceh juga mendapatkannya, salah seorang teman dari Indonesia berkelakar bahwa Aceh sekarang sudah dianggap sebagai sebuah negara. Sontak saja, candaan ini disambut senyum oleh mahasiswa asal Aceh yang jumlahnya waktu itu hampir menyamai mahasiswa asal Indonesia lainnya.

Ada tren yang menarik tentang jenjang pendidikan yang ditempuh oleh mahasiswa Aceh di sini. Jika dulu mahasiswa yang bersekolah disini rata-rata mengambil program S-2 dan S-3, sekarang ini program S-1 pun semakin diminati oleh mahasiswa asing khususnya oleh mahasiswa Aceh. Saat ini terdapat belasan mahasiswa asal Aceh yang mengambil program S-1 setelah sebelumnya mengambil program persiapan yang lebih dikenal dengan sebutan ‘studienkolleg‘ tersebut. Walaupun proses pendidikan sarjana disini termasuk rumit, tetapi tidak menyurutkan langkah mahasiswa-mahasiswa tersebut untuk mendapatkan gelar di negara penghasil insinyur teknik terbaik di dunia ini.

Peran mahasiswa Aceh

Membicarakan peran mahasiswa Aceh di luar negeri khususnya di Jerman mengingatkan kami pada acara pelepasan perdana mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari Pemda Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, akhir 2008 lalu. Wakil gubernur Aceh saat itu, Muhammad Nazar, dalam sambutannya mengatakan bahwa mahasiswa Aceh yang belajar di luar negeri ibarat duta daerah dan negara. Selain bertugas memperdalam ilmu dan mengaplikasikan nantinya untuk kemajuan daerah dan negara, mereka juga berkewajiban memperkenalkan Aceh di mata internasional, baik itu bidang ekonomi, pendidikan, budaya maupun pariwisata. Tetapi yang lebih penting dari itu semua, kata beliau, adalah memberikan stereotip (gambaran) yang baik terhadap orang Aceh yang dikenal sebagai pekerja keras dan teguh terhadap pendiriannya.

Mahasiswa Aceh yang tergabung dalam IMAN telah beberapa kali menampilkan tari tradisional Aceh diberbagai acara di Jerman. Malah akhir Maret mendatang mereka dipercayakan mewakili Pemerintah Kota Sabang menampilkan beberapa tari tradisional Aceh pada Malam Indonesia yang rencananya berlangsung di kota Den Haag, Belanda. Selain itu, mahasiswa Aceh ikut serta dalam berbagai kegiatan akademik termasuk presentasi ilmiah mewakili universitas dengan membawa nama Aceh tentunya. Mereka juga aktif dalam berbagai kegiatan promosi Indonesia di kotanya masing-masing dan turut ambil bagian dalam setiap kegiatan warga Indonesia di Jerman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar