Dimuat di Harian Aceh, edisi 10 Juni 2010
ilustrasi dokter sedang bekerja. |
Jaminan
Kesehatan Aceh menjadi buah bibir akhir-akhir ini. Bukan hanya karena
melibatkan dana yang sangat besar, tetapi juga JKA ini juga menjadikan jutaan
masyarakat miskin sebagai objek pelaksanaannya. Target besar yang digadang oleh
instansi terkait yang tidak sebanding dengan persiapan dan implementasi di
lapangan membuat mimpi menyehatkan masyarakat Aceh melalui program ini masih jauh
panggang dari api. Selain itu, pelaksanaannya yang masih meniru konsep lama
serta para pemain yang masih berasal dari wajah-wajah lama dikhawatirkan tidak
akan memberikan pengaruh besar pada pelayanan dan cakupan program ini.
Beberapa minggu yang lalu sebuah berita di beberapa harian
lokal memberitakan keluhan masyarakat terhadap perilaku salah seorang dokter
spesialis (Direktur RS yang menaungi dokter tersebut menyebutkan dengan istilah
‘praktek tidak sehat‘) yang memberikan resep obat diluar tanggungan Askeskin
terhadap salah seorang pasien miskin. Sang pasien mengeluh karena harus
mengeluarkan biaya yang lumayan tinggi untuk obat tersebut. Dalam artikel lain,
surat kabar ini serta sebuah situs berita lokal memberitakan seorang pasien
yang ditolak dioperasi oleh seorang dokter bedah di RSUZA. Heboh kejadian
tersebut menyebabkan salah seorang dokter bedah konsulen harus diberikan sanksi
indisipliner dan direktur RSUZA berjanji akan menindak bawahannya yang tidak
disiplin dalam bekerja.
Kasus Zubaidah dan Aisyah Saidi, pasien kanker
payudara yang diberitakan ditolak rawat inap dan operasi oleh pihak RS, yang
sempat diberitakan oleh Harian Aceh merupakan kisah buram pelayanan kesehatan di
Aceh. Masih banyak kasus lain yang tidak di ekpose
oleh media dan menambah deretan panjang keluhan pelayanan kesehatan di bumi
Serambi Mekkah tercinta ini. Sebenarnya apa yang diinginkan masyarakat?
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang semula direncanakan
mulai April 2010 akan diluncurkan serentak Juni ini. Mengutip pernyataan Kepala
Dinas Kesehatan Aceh, program ini sudah
siap untuk diaplikasikan kepada 1,2 juta masyarakat yang tidak tertampung dalam
jaminan kesehatan dari jamkesmas, Askes maupun Jamsostek. Beliau juga
menyebutkan bahwa dana JKA yang ada juga akan
digunakan untuk menambah yang kurang dari layanan Jamkesmas sehingga
meningkatkan mutu layananan kesehatan yang diberikan yang mencakup semua jenis
pelayanan kesehatan, kecuali dibidang kosmetik seperti operasi plastik. Apakah
ini yang sebenarnya diinginkan masyarakat?
Sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberantasan
korupsi menyampaikan kekhawatiran mereka akan tumpang tindihnya pelaksanaan JKA
dengan Jaskesmas yang berlaku secara nasional. Lembaga tersebut juga
memprediksikan pelaksanaan JKA ini rawan masalah dengan berbagai pertimbangan
termasuk belum dilakukannya pengumpulan data yang diperlukan oleh dinas terkait
untuk penerapan sistem asuransi yang diklaim oleh gubernur Aceh sebagai satu-satunya program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
masyarakat semesta (universal coverage) yang pertama di Indonesia. Bahkan
dana 10 milyar rupiah yang dialokasikan pada APBA 2009 terpaksa dikembalikan
dengan alasan yang tidak jelas, sebut LSM tersebut. Lembaga itu juga
mensinyalir terdapat 400 ribu penduduk yang tidak tercakup dalam asuransi ini
dengan asumsi 2,7 juta penduduk mendapatkan asuransi Jamkesmas dan 1,2 juta akan
ditanggung oleh JKA yang memplotkan dana 241 milyar rupiah. Apakah ini sudah
menjawab keinginan masyarakat?
*****
Kita tidak menginginkan menjadi pasien. Bahkan
kalau diberikan pilihan, semua kita pasti menghindari datang ke rumah sakit.
Tapi ketika musibah itu datang, apa yang kita lakukan? Apa yang kita inginkan
ketika kita sakit dan berobat ke Puskesmas atau rumah sakit? Penulis yakin kita
pasti tidak menuntut hal-hal yang terlalu berlebihan dan mengharapkan perawat
serta dokter dengan sigap dan tergesa-gesa menjemput kita di luar Instalasi
Gawat Darurat serta memberikan pertolongan cepat seperti di film-film barat
yang sering kita tonton. Kita sebagai pasien (semua orang termasuk dokter dan
paramedis pernah bertindak sebagai pasien), menginginkan ada seseorang yang
berempati terhadap kesulitan yang kita alami pada saat itu, dalam kasus ini:
sakit, dan mengharapkan ada orang yang kita percayai (dokter dan paramedis) bisa
membantu kita mengurangi kesulitan tersebut. Keinginan yang sangat sederhana dan
itu jualah alasan kita ke sana. Apakah kita telah mendapatkannya?
Pelayanan yang ramah dan handal, biaya pelayanan dan
harga obat yang terjangkau serta birokrasi puskesmas dan rumah sakit yang tidak
mempersulit merupakan tiga hal yang sangat diharapkan masyarakat saat ini. Masyarakat
tidak menuntut lebih dari itu. Seandainya para pengambil kebijakan di bidang
ini tahu dan mau berempati terhadap ketiga hal tersebut, maka berita-berita
miris tentang pelayanan kesehatan dan program-program pendukungnya akan jarang
kita baca di surat kabar. Tetapi mengapa sampai saat ini keluhan masyarakat
terhadap salah satu hak azasi setiap manusia ini masih saja terjadi?
Mewujudkan tiga hal tersebut diatas memang bukan hal yang mudah. Berbagai sistem
kesehatan telah dicoba di Indonesia, dari Askeskin sampai Jamkesmas, nyatanya
tidak menjadikan pelayanan kesehatan di negara ini semakin baik. Bahkan
indikator pembangunan kesehatan (yang dinilai dalam Human Development Index, HDI) seperti angka kematian ibu dan bayi,
juga tidak banyak terjadi perubahan. Penyakit menular yang memberi sumbangsih
terbesar dalam kematian manusia di Indonesia juga hingga saat ini belum dapat
tertanggulangi. Indikator tersebut dua dari sekulumit masalah kesehatan yang
masih melilit Indonesia dan Aceh khususnya.
Lalu apa yang kita harapkan dari sebuah sistem
kesehatan yang tidak mampu menjamin kesejahteraan umat manusia ini? Bahkan
memberikan pelayanan standar layanan kesehatan kepada masyarakat saja kita
belum mampu.
Aceh diharapkan dapat mengambil tindakan selangkah
lebih maju dari propinsi lain dalam bidang ini seperti yang diharapkan gubernur
dalam berbagai berita yang kita baca di media massa. Dengan kewenangan dalam
berbagai bidang serta sumber daya dan dana yang besar diharapkan mampu memberikan
standar layanan minimal kepada masyarakat yang sangat membutuhkan, apalagi
dengan asumsi sekitar 50% penduduk Aceh masih dalam lembah kemiskinan. JKA
merupakan langkah awal yang sangat baik dan patut kita berikan apresiasi,
walaupun pengawasan dan penyempurnaannya tidak bisa kita lupakan dan menjadi
tanggung jawab kita bersama.
Penunjukan sebuah BUMN yang bergerak di bidang asuransi
kesehatan sebagai mitra kerja dalam program JKA ini menurut hemat penulis
bukanlah sebuah opsi yang tepat. Walaupun BUMN tersebut dianggap paling
berpengalaman dalam bidang pelayanan kesehatan di Indonesia, tetapi
pelayanannya sering dikeluhkan masyarakat karena birokrasi yang kadang-kadang
terlalu rumit dan ketersediaan obat yang sering sangat terbatas. Menggandeng
asuransi kesehatan swasta yang sudah terbukti mampu memberikan pelayanan
maksimal kepada masyarakat atau bahkan mendirikan sebuah BUMD yang bergerak
dalam bidang asuransi kesehatan merupakan sebuah terobosan yang patut
dipikirkan dan dicoba oleh Pemerintah Aceh. BUMD ini merupakan solusi yang
tepat dalam mengatasi jumlah pengangguran serta memberikan kontribusi bagi Pemasukan
Asli Daerah (PAD).
Pembiayaan JKA seharusnya juga tidak membatasi diri
pada upaya-upaya kuratif semata. Pemerintah
sudah sepatutnya mengalokasi plot dana yang berimbang kepada upaya-upaya
preventif dan promotif. Karena upaya ini diyakini mampu mengurangi angka
kunjungan ke puskesmas dan rumah sakit, dan pada akhirnya nanti mengurangi cost yang dikeluarkan pemerintah dalam
upaya pengobatan. Selain itu, peningkatan kesejahteraan praktisi kesehatan yang
terlibat dalam pelaksanaan program ini juga perlu diperhatikan. Tanpa adanya
kesejahteraan tenaga medis, mustahil pelayanan yang maksimal dapat terwujud.
Saat ini masyarakat menaruh ekpektasi yang besar
terhadap program JKA ini. Semboyan “hanya dengan KTP dan KK masyarakat dapat berobat gratis ke
Puskesmas dan rumah sakit“ merupakan semboyan yang sangat menggiurkan dan
begitu indah terdengar. Bagaimana mengaplikasikan program-program pelaksanaan
dalam JKA ini merupakan hal penentu apakah program ini berjalan dan memberi
hasil seperti yang diharapkan. Apakah program ini akan sesuai target yang
diharapkan ataukan hanya sebagai program menghabiskankan dana APBA, kita lihat
saja.
NB: Terimakasih kepada Kanda Taufik Al Mubarak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar