suasana di dapur asrama di Jerman (maimun rizal) |
Hari ini ada kejadian menarik di Wohnheim. Ketika aku sedang asyik memasak untuk makan siang di dapur umum blok kamarku, tiba-tiba tiga orang anak muda masuk mengejutkanku sembari mengucapkan salam. Aku terkejut. Sembari membalas penuh salam mereka, aku memperhatikan wajah mereka satu per satu. Salah satu dari mereka aku kenal. Beberapa malam yang lalu aku sempat berpapasan dengannya di koridor depan kamarku. Hanya kata “Halo“ yang terucap ketika itu. “Woher kommen Sie?“, sapaku kemudian, ramah. Aku tahu mereka pastinya muslim dan telah mendoakan keselamatanku tadi. “Du, nicht Sie“, katanya menimpali. “Ich komme aus Palestinen“ katanya dengan suara agak keras sambil memperagakan beberapa adegan memegang senjata dan sedikit tersenyum.
Aku membalas senyumnya, kecut. Tidak banyak kata-kata terucap karena memang ketiga orang tersebut tampak terburu-buru. Tangan mereka terlihat memegang sekotak spaghetty, kelihatannya mereka akan memasak di dapur blok lain. Sedangkan aku juga sedang sibuk dengan masakanku. Seharian penuh di kursus bahasa yang semakin lama semakin susah pelajarannya ditambah dengan pemaparan gurunya yang sedikit membosankan, membuat ususku sering mengeluarkan suara-suara aneh J. Dan ini juga sudah pukul 2 siang! Wajar kalau perutku memberontak apalagi cuaca di luar sangat dingin hanya beberapa derajat saja.
Aku membalas senyumnya, kecut. Tidak banyak kata-kata terucap karena memang ketiga orang tersebut tampak terburu-buru. Tangan mereka terlihat memegang sekotak spaghetty, kelihatannya mereka akan memasak di dapur blok lain. Sedangkan aku juga sedang sibuk dengan masakanku. Seharian penuh di kursus bahasa yang semakin lama semakin susah pelajarannya ditambah dengan pemaparan gurunya yang sedikit membosankan, membuat ususku sering mengeluarkan suara-suara aneh J. Dan ini juga sudah pukul 2 siang! Wajar kalau perutku memberontak apalagi cuaca di luar sangat dingin hanya beberapa derajat saja.
Sambil keluar, salah satu dari mereka menyapaku kembali. Dia menanyakan berapa lama aku sudah disini dan sedikit basa-basi tentang kegiatanku. Aku juga menanyakan asalnya, “Yaman, kennst du?“, tanyanya. “Ja“, jawabku singkat. Kemudian dia berlalu mengikuti dua temannya yang telah keluar dari dapur.
Berperawakan besar, brewokan dan suara sedikit ngebass menegaskan bahwa mereka memang berasal dari timur tengah. Aku tahu ketiga anak muda ini, minimal suara mereka yang tidak asing di telingaku. Beberapa hari yang lalu aku sering mendengar suara keras musik hiphop dari kamar tetangga. Musik itu juga diselingi dengan percakapan dalam bahasa yang tidak asing di telingaku, Bahasa Arab. Walau – in fact, aku memang tidak bisa berbicara dalam bahasa itu, bahasa Arab memang sudah menjadi bahasa yang sangat familier bagiku dan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, aku kira. Aku juga sering mengutuk dalam hati, mengapa musik itu harus mereka putar sedemikian kerasnya sehingga beberapa kamar sebelah merasa terganggu (minimal aku yang mengalaminya). Terkadang suara musik itu terdengar pada waktu malam. Aku sering mengutuki hal itu, walau hanya dalam hati. Kadang-kadang aku berpikir, bukahkan Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin. Dimana-mana kita berada, seharusnya umat Islam memberi mamfaat bagi orang lain, bukan malah menjadi mudharat. Itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Ah, sudahlah, pikirku dalam hati. Kehidupan mereka toh bukan urusanku.
*****
Kehidupan muslim memang sangat beraneka ragam warnanya disini. Aku melihat keaneka ragaman itu sejak aku pertama tiba di negara ini. Shalat jumat pertama ku disini memberiku banyak pengetahuan tentang watak dan perilaku muslim dari berbagai negara di dunia. Ada yang sedikit sembarangan, tetapi banyak juga yang sopan dan penuh etika. Ada yang sangat ribut bahkan berbicara keras dalam mesjid, tetapi juga banyak yang diam dan mengaji dengan khuyuk dalam rumah Allah tersebut. Kekontrasan warna kulit juga menarik untuk kita cermati. Kita begitu terpesona dengan wajah orang Turki, tetapi kita juga harus menghargai kulit orang Afrika. Dan alhamdulillah aku diciptakan menjadi orang asia tenggara yang kulitnya tidak terlalu hitam dan tidak putih, namun indah dipandang mata ;-)
Sulit menemukan mesjid dengan menara di sini karena memang sepertinya ada larangan dari pemerintah untuk mendirikan menara dan mesjid. Mesjid-mesjid pun tidak tampak seperti mesjid dari luar, karena disulap dari rumah tempat tinggal, berbentuk persegi sehingga arahnya sering bertentangan dengan arah kiblat menyebabkan garis shaf yang menuju satu sudut rumah tersebut. Mimbar khutbah juga dibuat seadanya dan sangat sederhana. Suara azan juga pasti akan sangat kita rindukan disini. Ruangan shalat dalam mesjid (menurutku lebih layak disebut mushalla) yang sangat terbatas dan sempit membuatku rindu untuk shalat di mesjid tanah air. Shalat Jumat disini seakan-seakan seperti Shalat Jenazah yang jarak antara satu orang dengan yang lainnya sangat sempit dan sangat-sangat (aku akhirnya harus menggunakan kata ulang ini untuk mempertegasnya) susah untuk sujud bahkan hanya untuk mengucapkan takbiratur ihram.
Tapi dibalik semua kekurangan itu, juga tidak sedikit kelebihan yang dimilikinya. Khutbah yang dibaca dalam dua bahasa; Arab dan Jerman kadang-kadang membuatku serasa sedang berada di Arab, di negara tempat Islam dimulai dan berkembang. Suatu kebahagian yang tiada ternilai harganya. Salah satu kebahagian lainnya adalah ketika kita berada bersama saudara se agama dan se iman menegaskan bahwa kita tidak terasing disini. Dan aku senang bahwa perkembangan Islam disini sudah mulai baik ditandai dengan banyaknya warga muslim di kota yang termasuk kecil ini.
*****
Kehadiran tiga anak muda muslim – dengan kekurangan, kelebihan serta berbagai polah tingkahnya, bagaimanapun telah membuat aku semakin nyaman tinggal di kota ini. Dibalik beberapa perilaku yang tidak aku sukai seperti telah aku ceritakan sebelumnya, overall mereka sangat baik, sopan dan selalu memberi salam kepadaku ketika kami berjumpa. Bukankah salam merupakan doa, dan tentunya aku sangat senang sekali karena telah didoakan. Dua tetangga kanan-kiri kamarku berasal dari dua kekuatan dunia; USA dan China. Keduanya sudah ku kenal dan sudah berkali-kali komunikasi kulakukan dengan mereka, walau kadangkala aku harus menggunakan dua bahasa yang sama-sama tidak ku kuasai dengan baik. Tapi aku kira syarat komunikasi (yang menuntut pemahaman kedua belah pihak) telah terpenuhi dengan baik. Yang penting dia mengerti apa yang kukatakan, dan aku mengerti apa yang dia katakan. Das ist alles! J . Bahkan dengan keterbatasan kemampuan bahasa yang kami miliki, tetangga dari negeri Paman Sam itu sempat mencicipi masakan yang kami – aku dan Bang Maimun, buat walau hanya nasi, sayur dan ayam goreng. Dan aku lihat dia menikmatinya, aku rasa J.
Kini kehadiran dua negara muslim (walaupun sedang bergejolak) aku harapkan mampu mengimbangi dua kekuatan besar itu. Minimal sekarang blok kamar aku juga sudah semakin ramai. Aku ingin berbaur dengan banyak orang dari berbagai negara. Karena aku yakin, kehidupan yang penuh toleransi dan saling menghargai antar sesama penghuni dunia, antar sesama pemeluk agama, akan membuat dunia menjadi sangat indah dan semakin nyaman untuk dihuni. Dan aku memimpikan saat-saat itu. Toleransi akan terjadi kalau kita bisa saling memahami kelebihan dan kelebihan bangsa dan negara lain seperti kita memahami kelebihan dan kekurangan bangsa/negara sendiri.
Kadang-kadang aku tersenyum ketika membayangkan bila ada pemuda Israel yang menempati salah satu kamar disini. Pastinya akan sangat seru. Dan aku kira ‘perang dan perjanjian‘ akan sering terjadi disini. Sikap apa yang aku pilih sebagai orang Indonesia. Pastinya sikap netral dan tidak memihak; NON BLOK. Bukankah Indonesia merupakan pendiri gerakan Non Blok? J
(Christian Wolff Haus: Dienstag, 09.03.2010)
Alo..alo...u bwt link ke blog i ya...okeh...sering2 update tuh..
BalasHapus