“Aku tidak
mau mati disini. Dengan keadaan seperti ini”, teriak bathinku, kacau. Sudah
lebih dari lima belas menit aku menelusuri jalanan ini, terus dan terus
berjalan. Hujan salju juga semakin deras turun. Tangan dan seluruh badanku
sudah sangat kedinginan. Bahkan untuk memegang peta kota ini aku seakan tak
mampu. Keadaan sekeliling mulai tidak bersahabat denganku. Jalanan sudah mulai
sepi. Wajar, jam tanganku menunjukkan pukul setengah tujuh lewat.
Gila. Ini hari pertamaku di kota ini, dan aku tidak mau mati
dan kemudian menjadi berita di koran; “Seorang mahasiswa dari Aceh mati
kedinginan karena tersesat di hari pertamanya“. Seluruh dunia akan
menertawakanku. Juga teman-temanku sesama penerima beasiswa itu. Bagaimana
dengan ibuku, istriku. Pikiranku jadi semakin liar, dan akal sehatku
seakan-akan berhenti pada saat itu. aku terus menyusuri langkah demi langkah
mengikuti arah jalan di peta itu. dengan membawa tas yang penuh dengan
belanjaan dan antena TV yang kujinjing dalam kantong plastik membuat langkahku
jadi semakin berat. Aku mohon belas kasihmu ya Allah.
Musibah itu bermula ketika aku menunggu bus yang menuju ke kamar baruku di kota ini. Tadi sekitar jam 2 lewat kami sudah bertemu dengan pimpinan lembaga bahasa itu. Dia telah memberikan kami dua kunci kamar, sejumlah berkas dan bahan kemudian menelepon taksi untuk mengantarkan kami ke rumah karena memang bawaan kami yang sangat banyak dan berat sangat menyulitkan kami menggunakan bus. Kami menunggu sekitar sepuluh menit baru kemudian tampak sebuah taxi berhenti tepat di hadapan kami dan mempersilahkan kami naik. Tetapi di tempat yang tidak terlalu jauh tampak sebuah taksi juga berhenti. Nampaknya telah terjadi kesalahpahaman. Setelah kedua sopir taksi tersebut berbicara baru akhirya kami naik ke taksi yang satu lagi. Rupanya taksi tersebutlah yang telah ditelepon oleh pimpinan lembaga bahasa tadi.
Kami langsung menuju asrama yang akan aku tempati dua
bulanan ke depan selama aku belajar bahasa di kota ini. Jalanan menuju asrama
ini mendaki terdapat banyak kelokan. Bahkan mobil sekalipun sangat susah untuk
naik ke atas. Aku membaca sebuah tulisan di pinggir jalan tersebut, “Schloss“
dengan arah panah. Aku jadi ingat pelajaran dasar bahasa jerman yang kudapat
ketika di Malaysia dulu, kastil? Dan aku langsung membayangkan bahwa jalanan
ini akan sangat mendaki karena aku sering melihat film Hollywood yang
menceritakan tentang keadaan kastil yang hampir sebagian besar berada di puncak
bukit!.
Tebakanku tepat. Setelah melalui jalan yang berkelok dan sangat
menanjak itu sampailah kami di sebuah asrama yang lumayan besar. Kami sudah
sepakat untuk hanya menitipkan barang-barangku kemudian naik ke taksi dan
melanjutkan perjalanan mencari rumah kawanku itu. aku dan dibantu kawanku lalu
mengangkat koper dan tas memasuki rumah tersebut. Berbekal kunci dan nomor
kamar yang tertulis di kunci tersebut, kami terus mencari kamar yang lumayan
banyak tersebut. 03-04 artinya kamar no 4 di lantai 3! Setelah menaiki tiga
tangga akhirnya kami temukan kamar tersebut. Aku memasukkan kunci, meletakkan
barang-barangku dan melihat-lihat sebentar. Karena waktu yang diberikan kepada
kami sangat terbatas dan memikirkan argo yang terus jalan, dengan berlari kami
langsung turun dan kemudian naik lagi ke jalan untuk menjumpai taksi yang masih
setia menunggu di sana dengan argo nya. Aku memperhatikan letak kamarku yang
rupanya sejajar dengan jalan tapi tidak ada jalan yang langsung menuju jalan
dari kamarku. Jadi satu-satu jalan yah terpaksa aku turun dan kemudian naik
lagi. Sial, ini merupakan awal yang tidak baik, pikirku dalam hati.
Setelah menemukan kamar kawanku yang letaknya juga harus
mendaki (walau tidak separah rumahku), kami menuju supermarket untuk berbelanja
berang keperluan sehari-hari. Dua teman kami lainnya yang telah bersusah payah
mengantarkan kami (Thanks Kak Essy dan Farah) minta izin pulan ke kotanya
masing-masing. Tinggallah kami berdua ‘newcomers‘ dengan asyiknya berbelanja.
Ketika selesai berbelanja di sebuah supermarket di pusat kota itu, aku menuju
sebuah halte bus yang rutenya melewati asrama tempatku tinggal. Aku melihat
jadwal yang tertempel di situ 17.15 dan 18.15 untuk bus terakhir. aku melirik
jam tangan, Aha, baru jam 17.05, jadi aku masih mempunyai waktu sekitar sepuluh
menit lagi.
Setelah
menunggu lebih dari limabelas menit, bus tersebut tidak muncul-muncul jua. Aku menjadi
khawatir. Ada apa ini? Selama tiga hari aku di Gottingen tidak pernah ku temui
ada keterlambatan seperti ini. Aku sangat mengagumi keteraturan negara ini.
Bus-bus nya telah di atur sedemikian rupa sehingga tiba di halte pada menit
yang sesuai dengan jadwal di tempel. Kalaupun ada keterlambatan mana hitungan
detik saja, tidak lebih dari dua atau tiga menit. Kemudian kulihat kembali
jadwal yang ada di papan dan betul, 17.15. ada apa ini? Aku melihat ada bus
yang melewati rute ke rumah ku dengan nomor yang sama tapi tidak hanya melewati
rumahku. Kupikir ini kesempatan yang baik. Ku ambil kamera digital dan
ku foto jadwal beserta halte-halte tempat bus itu berhenti. Ku foto juga halte
tempat bus yang melewati rumahku. Nampaknya ini bisa menjadi alternatifku jika
kemungkinan terburuk terjadi, pikirku. Dan aku melihat jadwal bus tersebut,
17.45. aku masih mempunyai sekitar dua puluh menit lagi.
To be continued..
U guys really inspired me ^^
BalasHapus"hayeu that" cerita nya pak dokter, itu selesai kuliah bisa jadi seperti buku Endensor karya "Andrea Hirata" semoga cepat bersambung ceritanya jadi penasaran ni...
BalasHapus