Ilustrasi dokter sedang bertugas. (muhsin) |
Menarik membaca opini saudara Miksalmina di harian Serambi Indonesia edisi Rabu, 31 Desember 2008 yang berjudul “Operasi Bedah Kain Kasa”. Menarik karena beliau memaparkan permasalahan ‘malpraktik’ dalam konteks humaniora. Dalam tulisan tersebut beliau juga memberikan beberapa fakta empiris dan menurut saya masih sangat general dan tanpa ada studi literatur sebelumnya.
Dalam tulisan ini, saya tidak mewakili komunitas dokter yang ada di Indonesia, atau di Aceh khususnya, karena beberapa alasan. Pertama, komunitas dokter memiliki organisasi profesi yang dinamakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dan seperti kita tahu bersama IDI memiliki beberapa divisi, termasuk di dalamnya Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Dan saya kira IDi lah yang berhak memberi komentar atas apapun pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya. Oleh karena saya hanyalah seorang dokter biasa, maka saya tidak berkewajiban memberi keterangan apa-apa terhadap kasus tersebut. Kedua, peran saya dalam tulisan ini hanyalah sebagai seorang manusia. Dalam artian lebih luas, manusia yang diberi sedikit ilmu oleh Allah SWT. dalam bidang kedokteran. Dalam hal ini, menambah yang dikatakan oleh saudara Miksalmina, setiap kita adalah pasien. Karena saya yakin tidak ada diantara kita yang tidak pernah sakit. Dan saya yakin juga tidak ada di antara kita yang tidak pernah mencoba datang ke suatu tempat, yang menurut pandangan kita, ahli dalam peyembuhan penyakit, untuk menyembuhkan penyakit kita. ‘Ahli’ dalam hal ini bisa bermacam-macam, dari seorang dukun kampung, tabib, hingga seorang dokter konsultan sup spesialis.
Terdapat beberapa hal yang menurut saya perlu dicermati dalam tulisan saudara Miksalmina. Pertama, pada awal tulisannya, saudara Miksalmina memaparkan tentang dua kasus yang menghebohkan dunia kesehatan di nanggroe dalam tahun 2008. Kasus ‘salah sunat’ dan baru-baru ini kasus tertinggalnya kasa dalam perut pasien. Dua kasus yang menurut saudara Miksalmina sudah menjadi ‘rutinitas tahunan’ yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Saya tersenyum dengan penggunaan idiom yang menurut saya terlalu dilebih-lebihkan ini. Penggunaan istilah ‘selalu diulang’ juga menurut saya tidak begitu tepat karena hal itu berarti kita telah sering sekali mendengar suatu hasil negatif dari sebuah tindakan medis.
Saya tidak dalam posisi membenarkan tindakan kedua dokter tersebut, atau bahkan menyalahkan mereka. Alasan pertama adalah karena yang berhak membuat penilaian terhadap mereka bersalah atau tidak hanyalah pengadilan. Yang kedua karena ketika kejadian tersebut, saya tidak berada di lokasi kejadian sehingga saya tidak bisa berargumen bahwa dokter tersebut telah membuat suatu ‘malpraktik’.
Ada beberapa pemahaman yang keliru dalam terhadap istilah ‘malpraktek’ ini dan selalu menjadi pertentangan antara masyarakat awam dan tenaga kesehatan (baca: dokter dan paramedis). Masyarakat selalu menilai bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh dokter/paramedis dan berakibat negatif terhadap pasien, dianggap sebagai suatu malpraktek. Jadi, masyarakat menilai malpraktik itu adalah dari segi hasil suatu tindakan (output). Oleh karena itu setiap ada hasil negatif dari suatu tindakan medis, baik itu berupa kecacatan maupun kematian, langsung di cap sebagai suatu malpraktek. Malah opini ini menjadi pemahaman yang keliru setiap orang bahkan pihak media. Celakanya lagi kalau pemikiran seperti ini di miliki oleh pihak pengambil keputusan di pengadilan.
Padahal di setiap instansi pendidikan kesehatan, pendidikan dokter khususnya, setiap mahasiswa kedokteran dibekali dengan hukum kesehatan/kedokteran (medikolegal) dan kedokteran kehakiman dengan beban kredit yang lumayan banyak. Dan saya yakin semua dokter telah mendapatkan ilmu tersebut. Kalau tidak, maka orang tersebut tidak akan mendapatkan brevet dokter. Dalam medikolegal, istilah ‘malpraktik’ diperuntukkan untuk suatu proses yang dilakukan dengan tidak mengikuti prosedur kedokteran yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi (anda bisa membaca buku atau artikel di internet tentang medikolegal untuk menambah pemahaman anda terhadap hal ini). Oleh karena itu, yang berhak menilai seorang itu telah melakukan malpraktik atau tidak hanyalah organisasi profesi, dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Dan prosedur ini seharusnya dilalui oleh masyarakat sebelum memutuskan bahwa suatu tindakan medis bernilai malpraktik atau bukan.
Kemudian, tidak semua tindakan yang salah (ingat: bukan hasil yang salah!) bernilai kriminal atau pelanggaran hukum. Ada beberapa diantaranya digolongkan ke dalam pelanggaran etika. Dan sama seperti semua profesi di Indonesia, pelanggaran etika hanya mendapatkan sanksi dari organisasi profesi, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hal yang sama akan diberlakukan jika seorang wartawan melanggar kode etik wartawan, dia akan diberikan sanksi oleh organisasi profesi (Persatuan Wartawan Indonesia, PWI). Itu pun kalau dia terbukti telah melakukan pelanggaran etika. Begitu juga dengan profesi-profesi lain, seperti pengacara dan sebagainya.
Jadi hal ini yang harus menjadi catatan bagi kita, khususnya pembuat opini publik (contohnya wartawan dan pejabat publik) dalam membuat ulasannya mengenai ‘malpraktik’. Tapi yang saya lihat sekarang ini malah kebalikan dari semua itu. Setiap ada masalah yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal, semua orang langsung mengambil kesimpulan sendiri dan mencap dokter/paramedis telah melakukan malpraktik. Malah parahnya, para rekan-rekan wartawan mem-blow up berita ini dengan langsung menyebutkan nama si dokter lengkap dengan fotonya. Padahal hal ini bisa jadi merupakan suatu kesalahan dalam hal etika jurnalistik, bahkan bisa jadi suatu pelanggaran hukum, karena negara kita menganut azas praduga tak bersalah. Semua orang tidak bersalah sebelum hukum (melalui pengadilan) mengatakannya dia bersalah. Dan jika hal ini sampai berlanjut, bukan tidak mungkin tenaga kesehatan yang dituduhkan itu bisa balik menuntut orang yang telah mencemarkan nama baiknya. Saya juga heran mengapa hal ini tidak dilakukan oleh sejawat yang merasa namanya tercemar. Mungkin alasan logis, dia sudah trauma lebih dulu dengan kasusnya sehingga menerima begitu saja perlakuan publik khususnya media yang tidak berpihak pada dirinya.
Oleh karena itu, saya mengambil pemahaman, jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh ‘bukan ahlinya’ disebut dengan tindakan melanggar hukum, karena dia tidak diberi wewenang untuk melakukan tindakan itu, tetapi jika suatu tindakan dilakukan oleh ahlinya dan hasil dari tindakan tersebut bersifat negatif, bukan berarti kita langsung menyalahkan seorang ahli tersebut bukan? Kita harus memeriksa dulu apakah ahli tersebut telah melakukan tindakan tersebut sesuai dengan ilmu yang dimilikinya atau tidak. Jika yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ilmunya baru ini dinamakan ‘kesalahan’, tetapi jika dia sudah menjalankan semuanya sesuai dengan ilmunya, ini dinamakan ‘takdir’. Instansi yang berhak meneliti hal ini adalah pihak kepolisian dan yang berhak memvonis yang bersangkutan membuat ‘kesalahan’ atau tidak hanyalah pihak pengadilan.
Penggunaan personifikasi keledai juga membuat saya tersenyum. Mungkin saudara Miksalmina terinspirasi dengan pepatah (kalau saya tidak salah) “hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama” atau “keledai saja tidak pernah jatuh pada lubang yang sama”. Saya tidak tahu mana pepatah tersebut yang benar, tapi saya yakin saudara Miksalmina mengambil perumpamaan dari pepatah ini. Saya kira perumpamaan ini tidak tepat kita gunakan dalam kasus ini. Alasanya karena kasus ‘salah sunat’ berbeda substansinya dengan kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Memang hal ini menyangkut dua hal yang sama yaitu kasus tindakan bedah dan melibatkan dokter, tetapi proses tindakan yang dilakukan oleh keduanya berbeda. Keputusan hukum terhadap keduanya berbeda. Jadi kita tidak bisa menyamakan kedua kasus ini dan menganggapnya telah ‘jatuh di lubang yang sama’. Dan satu hal lagi, ilmu kedokteran selau berkembang dengan sangat cepatnya.
Setiap dokter dituntut untuk selalu mengembangkan ilmu dan kemampuannya. Dan hal ini diwajibkan dalam Undang Undang Praktik Kedokteran. Dan masyarakat sekarang juga sudah pandai dalam memilih pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan masyarakat kita yang sudah berkembang. Oleh karena itu, ‘seleksi alam’ dilakukan oleh masyarakat terhadap perilaku dokter yang tidak mengembangkan kemampuannya. Sedangkan keledai tidak memerlukan ‘seleksi alam’ untuk tetap eksis di bumi ini. Namanya saja keledai.
Hal yang menggelitik rasa kemanusiaan saya adalah pada poin penutup dari tulisan tersebut. Dalam tulisan tersebut disebutkan tentang budaya kesehatan yang salah di negara kita, khususnya di Aceh. Tidak ada yang salah dengan opini yang dikemukakan oleh penulis. Tapi ada beberapa hal yang patut kita catat bersama. Yang pertama, kesehatan memang membutuhkan biaya yang tinggi. Semua kita tahu akan hal itu. Oleh karena itu, selayaknya upaya-upaya pencegahan menjadi prioritas kita dalam budaya kesehatan. Di setiap negara, upaya pelayanan kesehatan menempati lima besar anggaran belanja yang dikeluarkan oleh negara dan masyarakat. Pengeluaran ini berimbang dengan biaya pendidikan dan infrastruktur. Tapi yang membuat pelayanan kesehatan di luar negeri lebih baik daripada di negara kita adalah sistem kesehatan yang sudah sangat bagus. Sistem asuransi membuat masyarakat khususnya masyarakat miskin tidak perlu kesusahan lagi ketika mereka dirundung musibah sakit. Pemerintah telah menanggung mereka. Hal demikian telah diberlakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Askeskin/Jamkesmas. Ada yang salah dengan Jamkesmas?
Ya, saya sangat setuju. Saya tidak ingin memuji sistem Askeskin (Jaskesmas) yang menurut saya sangat premature tersebut. Tetapi saya juga tidak melihat adanya perbedaan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap pemegang kartu Jamkesmas. Yang membedakannya hanyalah kamar (ruangan) dan beberapa obat yang tidak termasuk Jamkesmas. Dan itu yang patut dipersalahkan adalah pemerintah kenapa membuat peraturan seperti itu, bukan malah mempersalahkan tenaga kesehatannya. Oleh karena itu saya menyambut baik prakarsa Pemerintah Aceh dengan membuat Qanun Kesehatan. Kita harapkan Qanun Kesehatan ini memberi nilai lebih bagi sistem kesehatan di Aceh.
Dari semua ulasan saya terhadap tulisan saudara Miksalmina, akhirnya saya berapresiasi tinggi terhadap beliau. Satu catatan yang penting untuk kita ingat adalah bahwa semua kita bertanggung jawab terhadap upaya kesehatan, baik pribadi maupun masyarakat. Bahwa ada satu dua dokter yang kadang-kadang lalai dalam menjalankan tugasnya, iya, saya mengakui itu. Dokter adalah manusia seperti dikatakan oleh Miksalmina. Setiap manusia tidak luput dari kesalahan. Tapi semua dokter berhati mulia yang rela meninggalkan kepentingan pribadinya demi membantu masyarakat. Karena sebelum menjalankan profesinya, dokter disumpah atas nama Tuhan. Saya yakin tidak ada dokter di Indonesia yang ingin melanggar sumpahnya.
Ada idiom yang menarik untuk saya gambarkan di sini. Saya minta maaf jika hal ini menyinggung beberapa pihak, tapi hal ini saya buat hanya sebagai perumpamaan saja. Ulama, yang seharusnya member contoh terhadap perilaku mulia, ada juga yang tidak senonoh. Tapi itu adalah oknum ulama. Bukan berarti semua ulama seperti itu kan? Jangan gara-gara satu dua ulama yang berbuat seperti itu, kita menyalahkan semua ulama. Ulama adalah guru kita, tauladan kita dalam menjalankan kehidupan kita di muka bumi ini.
Dan satu hal lagi yang paling penting kita catat, kesehatan itu tidak hanya mengobati penyakit. Tapi yang jauh lebih penting dan lebih murah dari itu adalah upaya pencegahan dari penyakit. Hal ini yang selama ini kita lupakan. Mudah-mudahan adanya kasus-kasus tersebut membuat kita selalu mengubah perilaku kita dengan selalu menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan untuk mencegah kita terjangkit penyakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar