Komentar Pembaca di sebuah koran lokal ketika masih mahasiswa.
Rektor Unsyiah (kembali) membuat sensasi. Setelah kebijakan yang tidak populer yang dibuatnya tentang kenaikan SPP, kembali lagi beliau mengeluarkan SK tentang pelarangan kegiatan Ospek. Dan tidak tanggung-tanggung, SK itu dibarengi dengan arogansi dan gaya khas kaum protelarian : sanksi skorsing dan pemecatan bagi mahasiswa yang melanggar!
Ironis memang. Lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi contoh kecil penegakan demokrasi dan kebebasan berpendapat, sekarang menjadi tempat dimana hak-hak sipil khususnya hak-hak mahasiswa dikebiri. Ini juga yang diperlihatkan oleh sebuah institusi yang seharusnya menjadi pilot project untuk masalah transparansi dan akuntabilitas. Tapi kenyataan berbicara lain. Rektorat yang dibantu oleh segelintir ‘pejabat mahasiswa’ hasil didikan partai nasional memperlihatkan kekuasaannya dalam hal pengelolaan dana mahasiswa tanpa memberikan akses sedikitpun kepada mahasiswa untuk mengetahuinya. Tak tanggung-tanggung, kebijakan kenaikan SPP pun diambil dengan alasan meningkatkan mutu, menyamakan dengan perguruan tinggi lain, dan sebagainya. Apakah ini yang disebut dengan menjaga proses perdamaian?
Bukankah ini merupakan langkah untuk mempercepat kebodohan bangsa Aceh? Kenaikan SPP membuat implikasi yang sangat besar. Angka kemiskinan yang sangat besar di Aceh akan menyebabkan banyak orang tua mahasiswa tidak mampu menyekolahkan anak-naknya sampai ke tingkat perguruan tinggi. Apa jadinya Aceh ini? Apakah pihak rektorat memikirkan hal ini? Mungkin mereka hanya memikirkan berapa dana yang bisa di ambil dari mahasiswa, kemudian berapa dana bantuan APBA, atau berapa dana yang mereka dapatkan dari hasil –meminjam istilah Bung Abdul- ‘rental’ aset kampus. Belum lagi dana-dana lain yang kita tidak tahu. Kemana nurani mu pak Rektor?
Kembali pada masalah Ospek. Alasan yang dikemukakan pak Rektor melalui PR I yang diberitakan oleh harian ini tanggal 23/8 pun seakan-akan dibuat-buat. Pak rektor menganggap mahasiswa dan publik seperti anak-anak yang bisa dibohongi. Alasan untuk menjaga perdamaian dan hasil-hasil MoU Helsinki membuat kita tersenyum. Tapi ini dikeluarkan oleh bapak-bapak kita yang pendidikannya sudah pada tingkat doctoral. IAIN sudah mengadakan Ospek, tapi apakah Aceh kembali terjadi perang? Apakah kampus IAIN sekarang terjadi pertengkaran dan ketidakamanan??
Mari kita berpikir lebih cerdas. Diskusi dan demokrasi merupakan solusi masalah ospek dan berbagai masalah lainnya dikampus. Tidak akan mengurangi kewibawaan seorang rektor kalau pak rektor mau meluangkan sedikit waktu bertemu dan berbincang-bincang dengan perwakilan seluruh mahasiswa, bukan dengan ‘pejabat mahasiswa’. Ospek tidak perlu diasumsikan dengan kegiatan penjajahan senior pada junior. Masih banyak mamfaat lainnya yang mungkin pak rektor sendiri mengetahuinya karena memang beliau pasti pernah merasakannya…Mari kita jadikan kampus jantung hati rakyat Aceh ini benar-benar menjadi percontohan penegakan demokrasi dan kebebasan berpendapat serta tranparansi dan akuntabilitas. Terimakasih kepada Serambi yang memuat komentar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar