![]() |
Mahasiswa Aceh berhari raya di Jerman (zuhra sofyan) |
Pagi hari suasananya juga tidak jauh berbeda dengan
pagi-pagi di hari kerja lainnya. Situasi serupa seperti di tanah air tidak akan
kita jumpai di negara pengkonsumsi bir terbesar di dunia ini. Tidak ada orang yang berbondong-bondong menuju mesjid ataupun lapangan
terdekat untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Tidak ada juga kita lihat
anak-anak yang penuh dengan kegembiraan setelah orang tua membeli baju baru 2
hingga 3 pasang untuknya, walau para orang tua sendiri harus bekerja ekstra
keras mengingat harga barang semakin naik dan penjual mengambil keuntungan
lebih di hari raya. Tidak ada ziarah kubur, karena memang kuburan orang tua
maupun sanak saudara kita jauh berada di sana. Yang ada hanya orang-orang yang
selalu dikejar oleh waktu, bergegas, sibuk dengan segala aktivitasnya. Tidak
ada kesan hari raya seperti layaknya perayaan Natal yang gegap gempita bahkan
jauh-jauh hari sebelum hari tersebut tiba. Ya, inilah Jerman, negara maju nomor
3 di dunia dan paling kaya di benua biru, Eropa, yang berpenduduk muslim hanya
4% saja dari total 80 juta penduduknya. Tidak ada cuti bersama seperti yang
dinikmati oleh pegawai kita, yang ada hanyalah libur satu hari atau bahkan
libur beberapa jam saja dan itupun harus rela dipotong dengan cuti tahunan.
Shalat
Iedul Fitri biasanya dilangsungkan di mesjid-mesjid; mesjid Turki dan Arab yang
jumlahnya bisa dihitung dengan jari di setiap kotanya. Masyarakat Indonesia
biasanya menggunakan kantor kedutaan maupun konsulat untuk melaksanakan shalat
ied tersebut. Bagi kota yang tidak memiliki gedung kedutaan maupun konsulat,
shalat dilakukan di ruangan yang luas di universitas atau gedung milik
pemerintah/swasta lainnya yang disewa khusus untuk melaksanakan ibadah sunah
ini. Yang menarik adalah biasanya shalat ied diikuti dengan halal bi halal,
serta jamuan makan. Masakan khas Indonesia semisal lontong, rendang, bolu, dan
tentunya minus ketupat (karena bahan baku daun kelapa tidak akan kita jumpai
disini) akan tersaji di hadapan kita. Selain itu masakan khas Jerman/barat
seperti Doener Kebap, Salat, Berliner (kue khas Jerman) juga biasanya tersedia,
dibawa oleh masyarakat Indonesia keturunan maupun yang telah menikah dengan
orang Jerman.
Di kota
Bonn yang merupakan bekas ibukota Jerman Barat, shalat Ied dilakukan di gedung
eks kedutaan Indonesia yang tidak digunakan lagi kecuali untuk shalat ied saja.
Gedung besar serta tidak berpenghuni ini memiliki aula yang luas dan sanggup
menampung lebih dari tiga ratus jamaah. Tahun ini jamaah yang hadir lebih dari dua
ratus orang dan mencatat rekor sebagai shalat Ied yang jamaahnya paling ramai
di kota Bonn. Jamaah datang dari kota Bonn serta berbagai kota sekitar seperti
Cologne, Duisburg bahkan muslim dari negara Asia dan Afrika lainnya seperti
Pakistan dan India juga turut hadir di sana. Walau tidak mengerti materi
khutbah yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, mereka terlihat senang dan ikut
mencicipi menu masakan Indonesia yang menurut mereka sangat beragam disamping
rasanya juga enak.
Setelah itu, perayaan lebaran tahun ini selesai. Acara
kunjung-mengunjungi biasanya dilakukan terbatas. Orang-orang kembali ke rumah
masing, menikmati makanan khas hari raya yang mungkin tersedia di rumah.
Esoknya masyarakat muslim Jerman sama seperti masyarakat Jerman lainnya kembali
disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Tidak ada cuti bersama maupun libur
lebaran seperti yang didapatkan masyarakat Aceh di sana. Lebaran yang penuh
dengan budaya salam-salaman, silaturahmi, saling memaafkan hanya dinikmati
sebentar saja oleh muslim Jerman. Timphan,
dodhoi, sagun, kue bawang, mie caluek, rujak Aceh, pistol-pistolan yang
dijual di jalanan, emperan toko, kaki lima tidak akan kita dapatkan di sini.
Rindu orang tua dan keluarga menyeruak di dalam dada, tapi apa hendak di kata,
masa depan masih jauh di depan mata, susah senang kita lalui bersama, semuanya hanya
untuk Aceh tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar